Nabel Sahli
Dengan
segala ukuran dan makna, tanggal 29 November 2012 tetaplah menjadi hari
bersejarah dalam kehidupan bangsa Palestina di dalam, luar negeri, dan
sejumlah wilayah di pengungsian yang diaspora karena Palestina telah
memperoleh status Negara pemantau non anggota di PBB.
138
negara memberikan suara dukungan kepada Palestina, 9 negara terutama
Amerika dan Kanada menentang dan 41 negara abstain, di antaranya
Inggris.
Bisa dipastikan bahwa perjuangan
bangsa Palestina dan pengorbanannya adalah yang menghasilkan kemenangan
politik dan diplomasi meski bersifat parsial. Pengakuan terhadap
Palestina sebagai Negara dianggap sebagai pengakuan hak Palestina dan
selanjutnya pengakuan atas kezhaliman terhadap hak mereka sejak prahara
tahun 1948 sejak 64 tahun lalu. Namun sebaliknya kemenengan Palestina di
PBB ini memunculkan pertanyaan penting soal strategi untuk memperoleh
kebebasan dan kemerdekaan hakiki.
Hak Palestina dan Kekuatan Amerika
Jika
diamati, dalam hubungan Amerika Serikat dengan Negara-negara dunia, AS
mengalami kemunduran kekuatan dan bargaining. Selama ini Amerika
ditakuti karena kekuatannya.
Amerika
sendiri telah gagal meyakinkan Uni Eropa agar menolak tuntutan Palestina
di Majlis Umum PBB yang akhirnya bersuara mendukung hak Palestina
padahal mereka negara yang memiliki bobot politik dan ekonomi di Uni
Eropa seperti Perancis, Italia dan Spanyol.
Apalagi
sangat kentara sekali bahwa tekanan politik dan ekonomi Amerika
terhadap Palestina tidak berhasil meyakinkan mereka untuk tidak
melangkah ke PBB.
Meletusnya Arab Spring
dan kemenangan revolusi di lebih dari satu Negara Arab telah langsung
menaikkan sensifitas sikap Amerika terhadap masalah di Timteng terutama
masalah Palestina yang merupakan inti dari permasalahan Arab.
Jika
Amerika terus menekan Palestina agar menuruti tuntutan Israel makan
Negara paman Sam akan menghadapi isolasi dunia dan Arab.
Realitas Pasca Pengakuan Palestina
Pasca
pengakuan ini, Palestina akan mampu mengubah aturan main politik
terutama setelah persetujuan mayoritas anggota PBB untuk memperoleh hak
mereka.
Karena itu, perundingan yang akan
berlangsung antara Israel dan Palestina akan ditentukan oleh referensi
undang-undang internasional yang akan mencegah perubahan-perubahan
geografi dan demografi di Negara terjajah. Yang kami maksud adalah Tepi
Barat dan Jalur Gaza serta Al-Quds. Sebab undang-undang internasional
menilai aktivitas pemukiman dan pemaksaan demografi yahudi termasuk
melanggar undang-undang terutama di kota Al-Quds dan Hebron.
Perundingan
seperti ini bisa semakin kuat jika Palestina diterima di organisasi
Internasional seperti Mahkamah Pidana Internasional dan Mahkamah
Keadilan Internasional atau Mahkamah Amnesti Internasional dan lainnya.
Situasi
sekarang mendukung Palestina untuk mengajukan Israel dengan dakwaan
penjahat perang. Atau pelanggaran lainnya misalnya pembantaian
berkali-kali yang digelar Israel di halaman Al-Aqsha, pembantuan di
Jenin tahun 2002, agresi Israel ke Gaza akhir 2008-2009 dan agresi
November kemarin.
Palestina harus focus
kepada penerapan resolusi-resolusi internasional terkait Palestina,
terutama terkait pembekuan dan pembongkaran pemukiman yahudi di
Palestina yang kini mencapai 151 pemukiman di Tepi Barat, 21 pemukiman
di Al-Quds, dan pengusiran warga penjajah di sana yang jumlahnya 500
ribu yahudi di Tepi Barat dan Al-Quds.
Ada
sejumlah resolusi lainnya yang harus diterapkan. Di antaranya resolusi
yang mengharuskan kembalinya kedaulatan Palestina terhadap sumber daya
air yang dikuasai Israel sebanyak 81% dan resolusi kembalinya pengungsi
Palestina yang diusir dari Tepi Barat dan Jalur Gaza selama perang Juni
1967 dan setelahnya yang diperkirakan jumlahnya saat ini 1,6 juta
pengungsi Palestina dan kebanyakan di Jordania.
Menjaga Al-Quds
Rencana
Israel adalah menjadikan warga Yahudi di Al-Quds Timur yang dijajah
tahun 1967 sebagai mayoritas di sana. Israel akan mendatangkan warga
yahudi dari luar ke sana setelah terjadi kemunduran jumlahnya dari
Negara-negara Eropa. Selain itu Israel akan memperbanyak kelahiran
perempuan di Israel.
Selain itu, Israel
akan menerapakan rencana pengusiran sistematis warga Arab di Al-Quds,
termasuk dengan undang-undang yang menetapkan bahwa jika warga Arab
tinggal selama 7 tahun berturut-turut di luar Al-Quds maka mereka akan
dinyatakan sebagai warga tempat tinggalnya tersebut.
Jumlah
warga Arab (Palestina) di Al-Quds yang kehilangan kartu identritas asli
diperkirakan sampai 56 ribu orang. Semua aksi pengusiran Israel atas
warga Palestina dari Al-Quds dilakukan atas nama undang-undang Israel.
Ini
meuntut isu penghentian aktivitas pemukiman yahudi di Al-Quds harus
menjadi prioritas Palestina setelah dapat status Negara di PBB.
Pasca
kenaikan status Palestina di PBB, Israel tidak bisa menyembunyikan
kemarahannya. PM Israel Benjamen Netanyahu menegaskan bahwa status baru
Palestina tak akan mengubah apapun di lapangan. Bahkan para menteri
Palestina lebih jauh dari itu menyatakan harus mengepung dan mengblokade
Palestina dengan pemukiman yang lebih intens terutama di Al-Quds.
Seruan
Amerika agar mempercepat perundingan Palestina dan Israel hanya
menghindar dari resolusi-resolusi di atas. Palestina harus berusaha
untuk memperoleh status Negara berdaulat.
Selain itu langkah rekonsiliasi Palestina harus dipercepat agar memiliki strategi yang lebih jelas. (bsyr/Aljazeera.net)
Posting Komentar
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com