Kita kembali ke ribuan tahun ke  belakang, membuka lembaran sejarah mereka yang sepanjang zaman jadi  teladan. Kita ingin belajar dari sejarah, bukan hanya belajar sejarah.  Kita ingin mengambil fakta dari sejarah bukan hanya mengumpulkan data.  Kita tak ingin salah melangkah ke depan, dan itulah salah satu fungsi  sejarah, belajar dari kekhilafan lalu agar tak salah melangkah di masa  depan, atau belajar dari kegemilangannya agar lulus sebagai pemenang.  Tidak syak lagi, kalau wanita, selalu dan selamanya memiliki peran  penting dalam peradaban setiap bangsa atau ummat. Tidak berlebihan  kiranya jika ada sebagian orang yang mengatakan bahwa wanita adalah  “Tiang Negara”, tidak berlebihan pula jika sebagian yang lain mengatakan  wanita sebagai “Madrasah pertama bagi anak-anaknya”, dan seterusnya-dan  seterusnya berbagai ungkapan dilontarkan tentang wanita.
Sejarah tak luput mencatat, bagaimana Musa dan para wanita yang  berjasa dalam hidupnya. Musa AS dilahirkan saat kondisi sedang pelik.  Rasa takut firaun akan tahtanya membuatnya bertindak tiran dan  sewenang-wenang di muka bumi. Setiap bayi laki-laki yang lahir ke dunia  patut di sembelih, adapun bayi perempuan dibiarkannya hidup.
Sosok pertama seorang wanita dalam hidup Musa adalah Ibu nya.  Lihatlah bagaimana keadaannya tatkala Musa lahir ke dunia? Sang Ibu  bimbang hatinya, apa yang harus dilakukan, sedangkan firaun dan bala  tentaranya pasti akan segera menjamah dan merampas setiap anak lelaki  dari tangan ibu-ibu mereka.
Saat sang ibu mendekap erat Musa kecil dalam pangkuannya, dan bimbang  semakin menjadi-jadi, maka Allah sudah merencanakan sesuatu untuk Musa.  Tiba-tiba, sang ibu jadi bulat tekadnya untuk menghanyutkan sang buah  hati ke sungai dengan memasukannya ke dalam wadah, kemudian  menitipkannya kepada laju arus sungai.
Sesaat setelah Musa di biarkan mengambang bersama arus sungai, sang  ibu hatinya menjadi kosong, penuh rasa penyesalan. Kenapa dia percaya  kepada suara hati nya yang muncul begitu saja itu? Bukankah  membiarkannya mengambang di sungai jauh lebih bahaya ketimbang  membiarkannya didekap? Boleh jadi ia tenggelam atau dimangsa buaya  sungai yang buas! Hampir saja ibu Musa tak dapat menahan dirinya, hampir  saja dia berteriak dan ingin mengatakan segala apa yang ada di hatinya  yang boleh jadi semua rahasianya ‘kan terbongkar seketika, namun Allah  meneguhkan hatinya, agar ia menjadi seorang mu’minah (yang percaya  terhadap janji Allah).
“Ikutilah jejaknya!”(QS. Al-Qoshos:11) suruh Ibu Musa terhadap anak  perempuannya (Saudari Musa). Ini dia, saudara perempuan Musa, wanita  kedua dalam kisah hidup Musa. Dengan amanah, dia mengikuti jejak musa  sampai penyusuran jejaknya itu akhirnya mengantarkan ia ke istana  firaun, dan ia dapati saudara laki-lakinya tengah berada di pangkuan  istri sang penguasa tiran, Firaun. Bagaimana bisa? Jawabannya hanya  satu, sungai telah memainkan perannya dengan baik, sungai tidak khianat  dengan suruhan Allah yang Maha berkuasa. Jika mau, boleh saja sungai  menelan bayi mungil itu, namun ternyata Allah telah menyuruhnya dengan  tugas khusus, yaitu mengantar bayi kecil ke sisi wanita mu’minah lainnya  (Istri Firaun).
Istri Firaun, wanita ketiga dalam hidup Musa, telah memainkan  perannya, Allah menakdirnya ‘tuk menjadi penyelamat Musa kecil ketika  kilatan pedang hampir saja memutus lehernya. Istri firaun berkata  “Jadikanlah ia sebagai buah hatiku dan dirimu! Jangan lah engkau bunuh,  mudah-mudahan anak ini kelak bisa bermanfaat bagi kita, kita jadikan  saja sebagai anak…”. (QS. Al-Qoshos: 9)
“Mereka membuat makar, Allah pun membuat makar, dan Allahlah yang  paling baik makarnya.” (Ali-Imron: 54). Firaun ingin agar kekuasaannya  langgeng, dengan membunuh setiap bayi laki-laki dari masyarakat Bani  Israil, sehingga populasi lelaki mereka berkurang dan dengan demikian  kekuasaan akan tetap berada ditangannya. Firaun punya keinginan, tapi  Allah punya kehendak lain. Apa yang ditakutinya berupa keruntuhan  kekuasaan justru tak lama lagi akan terwujud, bayi kecil yang kini  berada di bawah asuhan istrinya inilah yang kelak akan menjadi musuhnya.
Mulailah istri firaun mencarikan seseorang yang dapat menyusuinya.  Tiap kali didatangkan seorang yang hendak menyusuinya, tiap itu pula  Musa kecil dengan isyarat keengganannya menolak sang penyusu, sehingga  kemudian saudari perempuan Musa yang menyaksikan peristiwa di istana  megah firaun itu berkata “Mau kah ku tunjukkan kalian kepada seseorang  yang dapat menyusuinya?”.(Al-Qoshos: 12)
Demikianlah akhirnya Allah mengembalikan musa ke haribaan ibunya,  sehingga hati sang ibu kembali menjadi tenang. Hari-hari berlalu, Musa  tumbuh di istana musuhnya sendiri, firaun, namun sang durhaka dan  durjana firaun tidak menyadarinya kalau bahaya yang ditakutinya  sebenarnya setiap hari selalu mengancam.
Kini Musa telah dewasa, Allah telah memberikan kepadanya pengetahuan  dan hikmah. Allah pun telah punya rencana lain untuk Musa, hidupnya yang  berkelimpahan di istana dan kenyamanan di dalamnya, sesaat dan sesaat  lagi akan berubah total.
Pada suatu saat dalam sejarah hidupnya, Musa memasuki sebuah kota  yang sedang lengang, tak nampak aktivitas penduduknya, kemudian ia  mendapati di kota tersebut, dua orang tengah berselisih, yang satu dari  kaumnya (Bani Israil) yang lainnya adalah anak buah firaun. Maka orang  yang dari kaumnya itu meminta bantuan kepada Musa, seketika Musa memukul  anak buah firaun hingga ia tergeletak tak berdaya bahkan berhenti detak  jantungnya. Musa kaget bukan buatan atas apa yang telah dilakukannya,  padahal tak ada maksud sedikit pun untuk membunuh orang tersebut.
“Ya Allah, sesungguhnya aku telah menzhalimi diriku sendiri, maka  ampunilah diriku…”(Al-Qoshos:16) kata Musa bermunajat memohon ampun  kepada Allah atas kesalahan yang telah diperbuatnya.
Beberapa hari setelah peristiwa itu, Musa dihadapkan kembali pada  persoalan yang sama, orang dari kaumnya yang kemarin berselisih meminta  pertolongan kembali kepada musa, mengesalkan memang, karena selalu saja  orang dari Bani Israel itu berbuat ulah sebagaimana cucu-cucunya saat  ini. Musa berkata kepada orang dari kaumnya itu “Engkau sungguh orang  yang nyata-nyata sesat”.(Al-Qoshos: 18)
Maka ketika Musa hendak memukul orang yang menjadi musuh mereka  berdua, dia (musuhnya) berkata “Apakah engkau bermaksud membunuhku  sebagaimana kemarin engkau membunuh seseorang? Engkau hanya bermaksud  menjadi orang yang berbuat sewenang-wenang di Negeri ini (Mesir), dan  engkau tidak bermaksud menjadi salah seorang dari orang-orang yang  mengadakan perdamaian”.(Al-Qoshos: 19) Musa menjadi terdiam ketika  mendengar kata-katanya, marahnya terhadap pemuda yang hendak ia pukul  ditahannya, hingga berlalu lah pemuda tersebut dari hadapannya.
Rupanya berita pembunuhan itu sudah menyebar ke seantero Mesir, Nama  Musa dibicarakan dari mulut ke mulut, dan bahkan ternyata namanya sudah  terdengar gaungnya di istana kerajaan firaun, karena beberapa saat  setelah musa hendak memukul orang tadi, datanglah seorang laki-laki  bergegas dari ujung kota seraya berkata “Wahai Musa! Sesungguhnya para  pembesar Negeri sedang berunding tentang engkau untuk membunuhmu, maka  keluarlah dari kota ini, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang  memberi nasihat kepadamu”.(QS. Al-Qoshos: 20)
Keluarlah akhirnya musa dari kota tersebut (kota Memphis), tanpa  bekal, dan tanpa seseorang yang menunjuki jalan, karena tuntutan  tiba-tiba yang membuatnya tidak sempat mempersiapkan apapun. Langkah  kakinya menyisir gurun, menapak jejak, akhirnya mengantarkan Musa ke  sebuah negeri di antara negeri Syam (Irak, Iran,…) dan Hijaz, yaitu kota  Madyan. Kita tidak tahu, seberapa lama musa berjalan, kita pun tidak  tahu seberapa banyak bahaya yang mengancamnya selama perjalanan,  Al-Quran menjelaskan cerita secara singkat, karena tujuan dari  Kisah-kisah Al-Quran itu adalah Mengambil Ibrah atau pelajaran dan  nasihat di balik kisah Nabi Musa ini, bukan sekadar hafalan data-data  sejarah.
Mulailah satu fase kehidupan baru Bagi Musa, kehidupan yang berbeda  180 derajat dari kehidupan sebelumnya yang penuh dengan kemegahan Istana  ayah angkatnya, Firaun. Sekarang, Musa ada di negeri Orang, Negeri  Madyan. Matanya memandang jauh ke depan, dan ia dapati sekumpulan orang  tengah berkerumun ‘tuk memberi minum ternak mereka. Tiba-tiba saja Musa  mengarahkan perhatiannya pada dua orang perempuan yang berdiri jauh dari  kumpulan orang tersebut, sembari menahan hewan ternak keduanya agar  jangan melaju kearah desakan-desakan kerumunan tersebut.
Kemudian Musa mendekati keduanya sembari berkata “Apakah Maksud  Kalian berdua dengan berbuat begitu?…”(QS. Al-Qoshos: 23), kedua  perempuan itu menjawab “Kami tidak bisa memberi minum ternak-ternak kami  sebelum orang-orang itu memulangkan ternak mereka (setelah selesai dari  memberi minumnya), sedangkan ayah kami adalah seorang yang telah lanjut  usianya”. (QS. Al-Qoshos: 23) Seakan-akan jawaban dari keduanya  menunjukkan kalau keberadaan mereka berdua di tengah desakan adalah  perkara yang kurang pantas bagi wanita, oleh karena itu keduanya berdiri  jauh dari kerumunan dan desak-desakan orang, sambil kemudian berkata  “Ayah kami adalah seorang yang telah lanjut usia”, maksudnya, kalaulah  tidak karena ayah kami sudah berumur, maka tentunya kami tidak akan  berdiri di sini sekarang.
Maka kemudian Musa membantu keduanya dalam memberi minum ternak  mereka berdua, setelah selesai, tanpa banyak kata, pulanglah kedua  perempuan itu, tak ada obrolan sedikit pun antara musa dan keduanya, pun  begitu pula musa tidak meminta upah dari keduanya. Mulailah Musa  mencari tempat berteduh, setelah mendapatkannya, ia bernaung di bawah  tempat teduh itu, dan tidak sedikit pun meminta-minta walaupun banyak  orang yang lalu-lalang di hadapannya. Musa berdoa “Ya Allah aku sangat  memerlukan sesuatu kebaikan yang engkau turunkan kepadaku.(QS.  Al-Qoshos: 24)
Beberapa saat kemudian, tanpa disangka-sangka datanglah kepada Musa  salah satu dari kedua perempuan itu. Sambil berjalan dengan malu-malu  dia berkata “Sesungguhnya ayahku mengundangmu untuk memberi balasan  sebagai imbalan atas kebaikanmu memberi minum ternak kami…”.(QS.  Al-Qoshos: 25)
Kebaikan benar-benar datang kepada Musa tanpa harus menunggu  berhari-hari, hitungannya hanya menit saja, tibalah pertolongan Allah  kepadanya. Setelah Musa sampai ke rumah kedua perempuan itu, bertemulah  Musa dengan Ayah keduanya, Sedangkan kedua perempuan tersebut berada di  samping ayahnya. Ia (perempuan tersebut) melihat ada sebuah kesempatan  baginya dan bagi saudarinya untuk istirahat dari lelah dan penatnya  pekerjaan mengembala kambing, oleh karenanya salah seorang dari kedua  perempuan berkata “…Wahai Ayah, jadikanlah ia sebagai pekerja kita,  sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja  pada kita adalah orang yang kuat dan dapat di percaya”.(QS. Al-Qoshos:  26) Keduanya telah menyaksikan sendiri kejujuran orang asing ini (Musa),  kemaskulinan (kelaki-lakiannya), dan kebaikan akhlaqnya dengan tidak  meminta upah sedikit pun sesaat setelah Musa membantu mereka berdua,  oleh karenanya jadilah dalam pandangan mereka berdua Musa sebagai  sebaik-baik pemuda.
Apa yang dirasakan kedua perempuan itu, dirasakan pula oleh ayah  keduanya, memang benar, orang asing ini (Musa) selain butuh tempat  berlindung, pun dapat diperbantukan untuk pekerjaannya menggembala  kambing, dan pada saat yang sama pula, orang tua tersebut memiliki dua  anak perempuan yang salah satu dari keduanya sudah dirasa cukup untuk  menikah, dan juga agar keberadaan Musa di rumahnya tidak mengundang  desas desus dan bisik-bisik tetangga, oleh karenanya, menikahkan salah  satu dari keduanya dengan ketentuan bekerja beberapa tahun adalah solusi  jitu dan pas. Berkatalah orang tua tersebut “Sesungguhnya aku bermaksud  ingin menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua anak  perempuanku ini, dengan ketentuan bahwa engkau bekerja padaku selama  delapan tahun dan jika engkau sempurnakan sepuluh tahun maka itu adalah  suatu kebaikan darimu, dan aku tidak bermaksud memberatkan engkau. Insya  Allah engkau mendapatiku termasuk orang yang baik.(QS. Al-Qoshos: 27)
Musa menerima perjanjian itu, ia berkata “…Itu perjanjian antara aku dan engkau, yang mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku lagi, dan Allah menjadi saksi atas apa yang kita ucapkan”.(Al-Qoshos: 28)
Musa menerima perjanjian itu, ia berkata “…Itu perjanjian antara aku dan engkau, yang mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku lagi, dan Allah menjadi saksi atas apa yang kita ucapkan”.(Al-Qoshos: 28)
Tinggallah Musa di negeri asing bersama seorang istri yang  mendampinginya, Inilah takdir Allah bagi Nabi Musa AS dalam satu episode  sejarah kehidupannya, Musa dan wanita-wanita berjasa dalam hidupnya,  Ibunya, Kakak perempuannya, Istri Firaun, dan Istrinya yang solehah.
*******
Pelajaran yang bisa diambil dari satu episode dalam kehidupan Nabi Musa ini:
1. “Boleh jadi Kita tidak menginginkan sesuatu, padahal sesuatu itu  ternyata baik bagi kita”. Ini adalah gambaran dari fase kehidupan Musa,  kalaulah karena tidak karena sebab Musa memukul anak buah firaun,  tidaklah mungkin ia kan meninggalkan Mesir secara langsung dan  tiba-tiba. Sungguh ini adalah takdir Allah agar sempurna pembinaan Nabi  Musa, dan persiapannya di kemudian hari tuk menghadapi kecongkakan  firaun. Allah jauhkan dia dari kemewahan Istana firaun, dan kemudian  menempatkannya di tengah lingkungan gurun yang udaranya belum tercemari,  akhlak-akhlak penduduknya masih terjaga.
2. Andai Musa terus tinggal di Istana Firaun sampai ia mendapat  perintah menghadapinya, maka itu akan menjadi hal yang cukup berat  baginya, karena musa hidup dari suapan firaun, tinggal di istananya.  Maka dengan mudah firaun akan mencelanya, dan menuduhnya tak tahu  diuntung. Kehidupan Mandiri adalah cara tuk mengantisipasi agar hal  tersebut tidak terjadi, walau akhirnya firaun mengejeknya juga dengan  cara itu, padahal musa sudah mandiri dan tidak sepenuhnya hidup dari  suapan firaun, apalagi jika tidak demikian, tentunya ini akan menjadi  aib tersendiri bagi Musa.
3. Ada kemiripan antara kisah Nabi Musa dan kisah Nabi Yusuf, pertama,  Musa di lempar oleh ibunya ke sungai dengan harapan agar selamat dari  cengkraman tangan jahat Firaun, adapun Yusuf, saudara-saudaranya lah  yang melemparnya ke sumur karena kedengkian mereka, kedua,  keduanya sama-sama hidup di lingkungan istana semasa kecil, namun dalam  kisah Yusuf yang paling berperan terhadap pendidikannya dan  pengembangan dirinya adalah raja dari istana yang ia tinggali  sebagaimana dijelaskan di surat Yusuf ayat 21, adapun dalam kisah Musa  yang berperan adalah Istri dari raja Firaun sebagaimana tersebut dalam  surat Al-Qosos ayat 9.
Ketiga, keduanya tinggal dalam lingkungan  keberhalaan. Pada zaman Nabi Yusuf keberhalaan dan kerusakan moral sudah  mencapai puncaknya, pun begitu pula pada zaman Nabi Musa, namun  walaupun demikian, Allah telah menjaga kehidupan keduanya dari  keterlibatan dengan penyembahan berhala dan kerusakan moral yang  merajalela.
Keempat, Setiap fase dari kehidupan dua Nabi ini selalu mengantarkan keduanya pada kondisi yang berbeda bahkan perubahan drastis amat sangat terlihat dari sejarah hidup keduanya. Yusuf hidup dengan nyaman di istana raja Mesir, kedekatan Yusuf dengannya layaknya seorang anak dengan ayahnya, semua kenikmatan hidup ia rasakan di dalamnya, pun begitu pula dengan Nabi Musa, dia termasuk anak angkat firaun, dibesarkan di istananya dan sudah barang tentu sempat mencicipi aneka kenikmatan hidup di dalamnya. Namun ternyata, keduanya mesti kehilangan semua kenikmatan hidup itu.
Keempat, Setiap fase dari kehidupan dua Nabi ini selalu mengantarkan keduanya pada kondisi yang berbeda bahkan perubahan drastis amat sangat terlihat dari sejarah hidup keduanya. Yusuf hidup dengan nyaman di istana raja Mesir, kedekatan Yusuf dengannya layaknya seorang anak dengan ayahnya, semua kenikmatan hidup ia rasakan di dalamnya, pun begitu pula dengan Nabi Musa, dia termasuk anak angkat firaun, dibesarkan di istananya dan sudah barang tentu sempat mencicipi aneka kenikmatan hidup di dalamnya. Namun ternyata, keduanya mesti kehilangan semua kenikmatan hidup itu.
Kehidupan mereka berdua tiba-tiba saja berpindah menuju kesengsaraan,  kerasnya hidup, ujian dan cobaan. Yusuf, dari kehidupannya yang penuh  kenikmatan, tiba-tiba saja harus mendekam di balik jeruji penjara  setelah lontaran tuduhan tak pantas ditujukan padanya oleh seorang  perempuan, istri pembesar Mesir, Zulaikha. Adapun Musa, kehilangan  semuanya sesaat setelah tindakannya yang berakibat pada terbunuhnya anak  buah firaun.
Kelima, wanita memiliki peran dalam kehidupan  keduanya, hanya saja dalam kisah Nabi Yusuf, peran tersebut berkebalikan  dengan peran wanita dalam kehidupan Nabi Musa. Atas takdir Allah  perempuan dalam kehidupan Nabi Yusuf menjadi sumber ujian dan cobaan  baginya, adapun dalam kehidupan Nabi Musa, bermula dari Ibu, Saudara  perempuan, Istri Firaun, sampai Istrinya, semuanya adalah Nikmat Allah  yang diberikan kepadanya.
4. Kisah Nabi dengan dua orang perempuan yang ia temui di negeri  Madyan ini memberikan gambaran pada kita tentang Nilai-nilai Islam dan  akhlak-akhlak yang semestinya dipegang teguh oleh muslimah di manapun  dan kapan pun ia berada, beberapa di antaranya adalah:
• Semestinya bagi seorang wanita, ketika ia hendak meninggalkan  rumahnya dan menuju tempat lain, baik terjun ke medan kerja, atau  sekadar bepergian, berdua lebih baik dari pada sendiri. Kita lihat dalam  Kisah tersebut, dua orang perempuan kakak beradik, keluar menuju medan  kerja, walaupun boleh jadi orang tuanya yang sudah lanjut usia sangat  membutuhkan salah satu dari keduanya untuk hanya sekadar mengambilkan  minum, menyuapi makan atau yang lainnya, namun kita lihat bagaimana  keduanya keluar bersama-sama agar dapat saling membantu satu sama lain,  sehingga tidak membutuhkan bantuan dari orang asing, lebih khusus lagi  bahwa karakter dasar pembentukan wanita yang tidak sekuat laki-laki  menjadi sebab akan butuhnya seseorang yang menemani dan membantu dalam  beberapa pekerjaannya.
• Masing-masing dari kedua perempuan dalam Kisah Musa ini layaknya  kamera pengintai bagi yang lainnya, ketika yang satu bekerja, maka yang  lain mengawasinya, agar hal-hal yang tidak diinginkan dapat dihindari,  karena keberadaan seorang wanita di tengah-tengah kerumunan orang,  apalagi jika kerumunan orang tersebut didominasi oleh kaum Adam, adalah  hal yang riskan baginya kalau-kalau terjadi hal-hal tercela yang tidak  pantas dari orang asing yang ditemuinya.
• Kita lihat bagaimana keduanya tidak mau berdesak-desakan, dan ini  dijelaskan oleh kata-kata mereka berdua “Kami tidak bisa memberi minum  ternak-ternak kami sebelum orang-orang itu memulangkan ternak mereka  (setelah selesai dari memberi minumnya)….”. Seperti telah dijelaskan,  bahwa desak-desakan bagi seorang wanita adalah hal yang membuka celah  terjadinya sesuatu yang tidak mengenakkan hati, kecuali jika berdesakan  di tengah kerumunan sesama wanita, namun lebih utama dijauhi. Hal yang  membuat saya miris adalah ketika kebanyakan mahasiswi kita di Kairo,  ikut berdesak-desakan di Bus, karena memang di sini transportasi agak  sulit, bukan karena kekurangan unit kendaraan/angkutan, namun karena  padatnya populasi penduduk. Wanita berdiri di dekat pintu masuk bus  sambil kakinya yang sebelah mengambang di udara akan Anda dapati di  sini, dan yang berbuat seperti itu rata-rata mahasiswi Indonesia, oleh  karena itu tingkat kriminal pemuda Mesir terhadap mahasiswi Indonesia  cukup masuk catatan, pun begitu pula terhadap ras Melayu yang lainnya  seperti Malaysia, Thailand, dan Singapore.
• Kedua perempuan dalam kisah Nabi Musa ini tidak keluar dengan  bersolek dan berhias yang berlebihan, tidak pula berjalan tanpa adab dan  rasa malu, melainkan seperti yang digambarkan dalam ayat “Berjalan  dengan malu-malu”, seakan-akan rasa malu adalah jalan yang dilewatinya  tuk sedikit mendekat menuju Musa.
5. Dari ayat yang berisi perjanjian Musa dan Orang tua, ayah kedua  perempuan itu, kita dapati kecerdasan dan kebijakan orang tua tersebut,  yakni keputusannya tuk menikahkan salah seorang anak perempuannya dengan  Musa, karena memang dia pun membutuhkan seseorang tuk menggantikannya  mengurus gembalaan, dan agar kedua anak perempuannya pun dapat istirahat  dari lelahnya menggembala. Kalaulah Orang tua tersebut tidak mengambil  keputusan menikahkan salah satu putrinya dengan Musa, maka beberapa  kesulitan yang mungkin menimpanya adalah sebagai berikut:
• Orang asing ada di rumahnya, sedangkan dia memiliki dua putri,  tentunya hal ini akan memancing desas desus yang mencoreng aib keluarga.
• Karena Musa adalah orang asing, boleh jadi ia akan meminta upahnya,  karena itu memang haknya, dan ini pun akan membuatnya sulit ‘tuk  memenuhi. Tapi karena Musa sudah menjadi menantunya, rasanya kurang  pantas jika masih meminta upah terhadap mertuanya.
• Musa akan terus menjadi orang asing di rumahnya karena tidak  terikat dengan ikatan apapun, namun ketika sang orang tua menikahkan  dengan salah satu putrinya, maka keberadaannya di rumah itu adalah  keberadaan yang sah lagi halal, yaitu sebagai seorang suami dari salah  satu putri orang tua tersebut, kalau tidak demikian, apa statusnya  ketika berkumpul dengan dua orang perempuan yang asing baginya???
6. Tidak seorang Nabi pun melainkan ia pernah menggembala Kambing,  Nabi Muhammad, Musa, Isa, dan lain sebagainya. Terdapat beberapa akhlaq  yang didapatkan dari hasil menggembala kambing ini, di antaranya:
• Sabar: Pekerjaan penggembala adalah pekerjaan dari  matahari terbit hingga terbenam, karena kelambanan hewan ternak dalam  mengunyah makanannya, maka sabar adalah sebuah tuntutan akhlaq yang mau  tidak mau mesti dipenuhi oleh penggembala.
• Tawadhu (Rendah Hati): Ciri khas penggembala hewan  ternak (kambing, domba, dll) adalah pelayanannya terhadap hewan  tersebut, mulai dari mengurusi kelahirannya, penjagaannya yang boleh  jadi menuntutnya ‘tuk tidur di dekat hewan-hewan tersebut, dan bahkan  sesekali terkena kencingnya. Ketika pekerjaan ini terus berlanjut dan  berulang-ulang, hal itu akan semakin menjauhkannya dari besar kepala  atau sombong.
• Keberanian (Syaja’ah): Ciri khas lainnya dari  pekerjaan menggembala hewan ternak ini adalah bahaya yang kerap kali  mengancam dari binatang buas sebangsa serigala yang setiap waktu dapat  memangsa hewan ternaknya. Maka seorang penggembala harus memiliki  keberanian lebih ‘tuk menghadang hewan buas ini.
• Kasih sayang dan Belas kasih: Tuntutan pekerjaan  penggembala kambing adalah, mengobati hewan ternaknya ketika sakit, atau  terluka karena gigitan hewan buas. Semua ini membutuhkan kasih sayang  dan belas kasih terhadap hewan, memperlakukannya sebagaimana  perlakuannya terhadap manusia. Siapa saja yang mengasihi hewan dan  berbuat lembut padanya, sudah barang tentu akan memperlakukan manusia  dengan sikap yang lebih lembut dan penuh kasih sayang.
• Cinta pekerjaan hasil keringat sendiri:  Diriwayatkan Bukhari dari Miqdad R.A. dari Rasulullah saw, Beliau  berkata, “Tidak ada makanan yang paling baik bagi seseorang selain  makanan yang ia dapatkan dari hasil kerja tangannya sendiri, dan  sesungguhnya Nabi Daud A.S. makan dari hasil kerja tangannya sendiri”  (HR. Muslim). Tidak diragukan lagi bahwa dengan bersandar pada usaha  halal ‘kan membuat seseorang meraih kebebasan sempurna dan berkuasa  untuk terang-terangan dalam melantangkan kebenaran.
Wallohu ‘alam bis shawab
dakwatuna.com  
Posting Komentar
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com