Lusuh… kumal… dekil…  Itulah kesan pertama yang 
nampak dari pria tua itu. Rambutnya yang putih dan kulitnya yang 
mengerut nan legam, semakin menyemburatkan kerentaannya. Ditemani asap 
rokok yang mengepul dari mulutnya, pria tua besar itu beraksi laksana 
seorang aktor. Wajahnya dibuat memelas agar menggoda kantong para 
penumpang Transjakarta untuk memberi ala kadarnya. Itulah senjata 
utamanya, selain topi ’kotak amal’ yang setia menemaninya.
Tidak 
jauh dari situ, seorang nenek nan tua, kurus, berkerudung jingga 
melangkah tegar. Seolah-olah dia sedang menunjukkan kekuatan dirinya 
yang tidak takluk dengan keganasan zaman. Sambil menggenggam erat karung
 putih yang dipanggul, tapaknya pasti menggetarkan bumi. Matanya nanar 
memandang tajam, mencari kepingan-kepingan gelas plastik dan rongsokan 
lainnya untuk ditukar dengan rupiah. Dengan sabarnya, ia kumpulkan 
sedikit demi sedikit ’sampah’ air minum mineral tersebut, hingga 
memenuhi karung yang tak pernah lepas dari punggungnya itu. Dalam 
hatinya dia berujar, ”meskipun dunia terus menghinanya dengan berbagai 
kemelaratan, Aku tidak akan merendahkan diri dan kalah dalam pertarungan
 hidup ini.” Senandungnya dalam jiwa.
Jika dicermati, kedua insan 
ini nyaris memiliki kesamaan. Dalam hal umur, lebih dari setengah abad 
kehidupan sama-sama mereka lalui. Telah banyak cerita kehidupan yang 
mereka gambar menjadi drama tak bertuan yang tersimpan di nurani. Pun 
begitu dilihat dari segi nasib. Mereka masuk dalam ’kotak’ kaum marginal
 yang tak disahabati alam, tak dicintai kehidupan.
Perbedaan kedua
 orang renta ini hanya pada perjuangan. Kakek tua yang meskipun nampak 
renta, namun dari ketegapan tubuhnya tersirat tenaga yang luar biasa. 
Meski sungguh disayangkan, kemampuan itu tertutupi dengan 
keputusasaannya atau justru dengan kemalasannya. Sehingga kemudian, sang
 kakek memilih menjadi pengumpul ’rupiah’ keikhlasan.
Berbeda 
dengan sang nenek pejuang. Meskipun sekujur tubuhnya dibanjiri otot 
sebagai bentuk ’protes’ tubuh yang terus dieksploitasi tanpa henti, 
Semangat berjuangnya terus hidup dan mengalahkan kerentaannya tersebut. 
 Nenek itu telah menjadi menara kokoh yang ujungnya tak mampu 
diguncangkan gempa sekalipun. Dia yakin bahwa perubahan akan datang pada
 setiap jasad yang berusaha keras untuk mencapainya.
Kita tilik 
benak sang nenek tua. Mungkin nuraninya rutin berujar bahwa kelelahannya
 menaklukkan keganasan dunia, akan terbayar tuntas dengan kehidupan 
akhirat yang menjanjikan kenikmatan tak terbatas. ”Bukankah tangan di 
atas lebih baik dari pada tangan di bawah? Bukankah mengemis di mata 
sang Khaliq adalah pekerjaan hina? Bukankah setiap orang yang merasa 
kelelahan setelah bekerja seharian untuk mencari penghasilan yang halal,
 sangat dimuliakan di hadapan Tuhannya,” gumamnya.
Mungkin kisah 
di atas sangat sering kita temui, bahkan nyaris setiap hari tercecer di 
pinggir-pinggir trotoar jalan maupun jembatan penyeberangan. Namun, 
mampukah kita mengambil nilai dari kisah-kisah tersebut yang kemudian 
menjadi media kontemplasi pribadi? Atau hanya menjadi pernak-pernik 
kehidupan yang tidak penting bagi kita?
Jalan Panjang itu!
Sebagai
 perjalanan yang sangat panjang dan berliku, reformasi birokrasi juga 
akan mengalami kerentaan seperti kisah di atas. Dan kita akan memilih 
jalan seperti sang kakek yang berputus asa dan berhenti berjuang dengan 
mengemis kepada langit. Atau terus semangat berjuang sampai alam melumat
 tubuh-tubuh ini. Hanya dua itu saja!
Kahlil Gibran bersenandung 
”Dibalik salju yang gugur dan tebalnya awan gemawan serta prahara yang 
menderu-deru, ada suatu Roh Suci yang memahami keadaan buruk dari umat 
manusia dengan rasa kasih-sayang.” Itulah darah semangat yang harus 
terus mengalir dalam nadi kita. Pertempuran melumat birokrasi usang yang
 menjangkit ’negeri garuda’ ini sejak merdeka, bukanlah pertarungan 
sehari, sebulan, setahun atau sampai kapan pun. Gerakan ini butuh waktu 
yang tidak sedikit, butuh logistic yang melimpah, butuh ketahanan yang 
tak kunjung habis. Pastinya, harus juga disadari bahwa gerakan yang kita
 lakukan ini juga sepenuhnya dibimbing Pemilik Kehidupan. Lewat ilhamNya
 kita dituntun menelurkan ide-ide segar yang tiba-tiba menyelinap di 
logika. Lalu mengapa kita harus kalah dengan berbagai isu miring, 
tekanan politik, maupun ancaman yang nyaris setiap detik menghiasi media
 massa. Bukankah tujuan kita sudah sangat jelas, Perubahan!
Mengutip
 pesan mantan Menkeu, Sri Mulyani Indrawati, bahwa reformasi birokrasi 
sebagai proses perbaikan institusi adalah proses belajar seumur hidup. 
Masa-masa honeymoon bagi pegawai negeri telah habis. Kini 
masyarakat mulai menagih komitmen perubahan itu. Lalu, haruskah harapan 
itu kita hempaskan kembali! Dan ketika kita lelah dengan tantangan dan 
hambatan yang menghadang laju pedati reformasi ini, maka kokohkan 
kembali dengan bersandar kepada pemilik kehidupan.
Tidak ada kata 
putus asa di nurani pecinta perubahan. Karena jika kita tidak pernah 
menyerah berarti kita tidak pernah kalah. Itulah prinsip yang harus 
terus dipegang teguh. Tidak lekang dimakan zaman, tidak ciut digerus 
waktu, tidak hancur ditempa kerasnya kehidupan. Pesan Menteri Keuangan 
Agus Martowardoyo untuk tetap bekerja dengan prinsip good governance, integritas,
 dan profesionalitas dalam bekerja, selayaknya menjadi nafas setiap 
pegawai Kementerian Keuangan. Dan perubahan itu merupakan keniscayaan. 
Karena setiap entitas yang tidak berubah, pasti akan punah.
Sinergisitas!
Kejahatan
 yang terorganisir, akan mengalahkan kebenaran yang terorganisir. Untuk 
itu, diperlukan sinergi yang kokoh antara elemen perubahan untuk terus 
menggerakkan roda reformasi birokrasi. Karena harus disadari bahwa 
kesuksesan perjuangan itu diinspirasi oleh yang bervisi, dimiliki yang 
berkeyakinan dalam, dilaksanakan dengan ikhlas, dimulai oleh yang 
cerdas, dimenangkan oleh yang berani, diraih oleh yang sehat dan kuat, 
digerakkan oleh yang bermotivasi, diraih dengan perencanaan matang, 
dihasilkan oleh kerja keras tim dan dilalui dengan kerja tuntas (B.S. 
Wibowo). Dan jalan perubahan ini, bukan tempat bagi para penggerutu yang
 berceloteh kosong dan menjadi kerikil-kerikil tajam penghalang laju 
perubahan.
Tidak ada pilihan lain bagi generasi saat ini selain 
bergabung dalam ombak perubahan. Karena siapa yang menghalangi jalan, 
dia akan terlindas. Masih terlalu banyak kursi-kursi kosong di gerbong 
kereta reformasi yang harus diisi. Oleh mereka yang mencintai negeri dan
 ingin menyelamatkan generasi.
Sadarilah, negeri ini masih 
memiliki harapan untuk bangkit. Bangsa ini memiliki kemampuan untuk 
menunjukkan taringnya di dunia internasional. Tantangan yang dihadapi 
pada masa transisi ini, hanyalah proses sesaat yang akan segera berlalu.
 Karenanya, janganlah berputus asa. Sebab dibalik kerancuan dunia, 
ungkap Gibran dalam syairnya, dibalik zat dan mega dan udara, dibalik 
semua benda, terdapat suatu kekuatan yaitu keadilan. Ya… keadilan akan 
tumbuh menjadi bagian kehidupan bangsa ini. Jika kita yakin dan terus 
menguras keringat untuk mewujudkan hal itu.
Gerakan ini butuh 
sinergi. Hanya sinergisitas yang mampu mengokohkan mental-mental kita. 
Yang sering luluh oleh keadaan, hanyut terbawa arus kenikmatan, maupun 
larut bersama godaan yang tampil sekejap.
Perubahan itu butuh 
sinergi sebagai komponen utamanya. Sinergi yang menghasilkan kesamaan 
langkah, kesinambungan komitmen, dan kesatuan hati mencapai tujuan 
perubahan. Haruskah kita berhenti setelah jalan panjang yang telah 
ditapaki selama ini menampakkan secercah asa.
Mari kuatkan kembali
 komitmen kita untuk berubah dan mensukseskan perubahan. Meskipun hasil 
kerja itu tidak dinikmati oleh diri kita. Jadilah nenek tua renta yang 
terus bertarung menapaki kehidupannya. Terus bertarung bersama kelemahan
 yang tersirat di tubuh keriputnya. Dan jika jalan seperti itu tidak 
kita pilih, jalan mana yang akan kita pilih?
 
Posting Komentar
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com