picture

Visi peradaban komprehensif Jama‘ah al-Ikhwan al-Muslimun (2) Landasan dan Titik Tolak

Bahasan Pertama: Landasan dan Titik Tolak
Pertama: Islam
Dengan kontribusi teori dan keilmuannya sepanjang masa, Islam telah membentuk jati diri umat, merumuskan identitasnya, serta membangun fondasi undang-undang yang berkaitan dengan mental, intelektual, dan amal. Di atas fondasi ini undang-undang tersebut terumuskan secara serta merta. Dan di dalam jiwa jutaan anak bangsa ini, ukuran-ukuran benar dan salah, baik dan jahat, serta indah dan buruk itu menjadi sangat jelas.
Islam adalah agama pamungkas yang diridhai Allah bagi hamba-hamba-Nya di muka bumi ini. Islam mengatur setiap aspek kehidupan manusia, mengatur berbagai urusan masyarakat dalam setiap sisinya, baik perilaku, sosial, politik, dan ekonomi. Islam dianut oleh segenap anak bangsa ini. Mereka menghalalkan apa yang dihalalkannya, mengharamkan apa yang diharamkannya, komitmen terhadap perintah-perintahnya, menerima arahan-arahannya, serta menjadikannya sebagai pemutus perkara untuk menyelesaikan perselisihan mereka, menjadikannya landasan untuk mengatasi problematika mereka. Hanya dengan mengikuti manhajnya sajalah kebahagiaan dan kebaikan manusia di dunia dan akhirat dapat terwujud. Allah berfirman, “Jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, maka barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, maka ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (Thaha [20]: 123)
Islam dalam pemahaman Al-Ikhwan al-Muslimun merupakan sistem komprehensif yang menyentuh semua fenomena kehidupan. Islam adalah negara dan tanah air, atau pemerintah dan rakyat. Islam adalah akhlak dan kekuatan, atau rahmat dan keadilan. Islam adalah kebudayaan dan undang-undang, atau ilmu dan peradilan. Islam adalah materi atau kerja dan kekayaan. Islam adalah jihad dan dakwah, atau pasukan dan pemikiran. Sebagaimaan Islam adalah akidah yang murni sekaligus ibadah yang benar.
Kita meyakini bahwa fondasi pertama yang menjadi pijakan umat ini adalah akidah Islam. Yaitu akidah yang membangun, bukan merusak..menyatukan, bukan memecah belah..Karena akidah Islam berpijak pada seluruh warisan risalah Ilahi dan keimanan kepada Rasul-Rasul Allah seluruhnya. “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari Rasul-Rasul-Nya.” (al-Baqarah [2]: 285)
Akidah ini memiliki tema komprehensif yang merangkumnya, serta syi’ar sempurna yang mengartikulasikannya. Yaitu kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah Utusan Allah. Jadi, tidak ada penghambaan dan ketundukan kepada kekuasaan apapun selain kekuasaan Allah, tidak pula kepada hukum apapun selain hukum Allah, tidak pula kepada perintah apapun selain perintah Allah, serta menolak loyalitas kecuali kepada Allah, dan menolak cinta selain kepada-Nya dan di jalan-Nya.
“Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah.” (Ali Imran [3]: 64)
Kita meyakini bahwa sumber pertama akidah, syari‘at, akhlak, nilai-nilai, pemahaman, dan kriteria Islam adalah al-Qur’an al-Karim. Sebuah Kitab yang tidak termasuki kebatilan, baik dari depan atau dari belakang. Allah sendiri menjamin untuk menjelaskan, memudahkan, dan memeliharanya. Sebuah Kitab yang berbahasa Arab, tetapi universal kandungan dan orientasinya.
Kita mengimani bahwa Sunnah merupakan sumber kedua Islam setelah al-Qur’an..Ia menafsirkan penjelasan global al-Qur’an, mengkhususkan penjelasan umumnya, dan membatasi penjelasan mutlak-nya. Sunnah dalam pemahaman kita adalah apa yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam bentuk ucapan, perbuatan, dan pengakuan.
“Katakanlah, ‘Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul…Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.’” (an-Nur [24]: 54).
“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imran [3]: 31)
Imam Hasan al-Banna telah menjelaskan secara garis besar pemahaman Al-Ikhwan al-Muslimun tentang prinsip ini, “Al-Qur’an al-Karim dan Sunnah Muthahharah merupakan referensi setiap Muslim dalam mengenali hukum-hukum Islam. Al-Qur’an harus dipahami sesuai dengan kaidah bahasa Arab, dengan tidak memaksakan dan tidak mengada-ada. Sedangkan pemahaman tentang Sunnah Muthahharah dikembalikan kepada para ahli Hadits yang tepercaya.”
“Kita percaya bahwa Islam tidak mengenal perdukunan, tidak ada lapisan masyarakat yang memonopili agama, atau menguasai nurani, dan menutup pintu Allah bagi manusia kecuali melalui jalannya..Semua manusia dalam Islam bertanggungjawab atas agamanya sendiri, tanpa membutuhkan mediator antara mereka dan Tuhan mereka.
Ulama Islam tidak lain adalah para pakar di bidang spesialisasi mereka dan mereka menjadi rujukan di dalamnya, sebagaimana para pakar menjadi rujukan dalam sebuah disiplin ilmu. “Maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia.” (al-Furqan [25]: 59)
“Dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh yang Maha Mengetahui.” (Fathir [35]: 14)
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (an-Nahl [16]: 43)
Di antara hak setiap muslim jika ia mau adalah menjadi cendekia melalui kajian dan spesialisasi, bukan melalui warisan dan gelar. Karena Islam menolak dikotomi manusia dan berbagai lembaga menjadi bidang agama dan bukan agama. Jadi, tidak ada dikotomi manusia, pendidikan, undang-undang, dan lembaga. Seluruhnya harus dalam kerangka taat kepada Allah dan mengabdi kepada manusia.
Syari‘at Islam merupakan syari‘at yang komprehensif. Ia datang untuk mengatur prinsip-prinsip hubungan antara seseorang dengan Tuhannya, antara dia dengan dirinya sendiri, antara dia dengan masyarakatnya, antara dia dengan umatnya yang terbesar, antara dia dan umat manusia seluruhnya. Bahkan antara dia dengan alam semesta yang besar di sekitarnya.
Syari‘at Islam merupakan wahyu Allah Ta‘ala yang terefleksi di dalam al-Qur’an al-Karim dan di dalam Sunnah Nabawiyyah yang shahih dan suci. Fikih bagi kita adalah kerja akal yang tunduk dan terikat dalam kegiatan ijtihad, berpikir, dan menarik kesimpulan dengan kriteria-kriteria syar‘i, ‘aqli, dan linguistik, serta mengerahkan segenap tenaga untuk memahami al-Qur’an dan Sunnah, dan menyimpulkan hukum-hukum praktis dari keduanya. Jadi, syari‘at adalah wahyu rabbani, sementara fiqih adalah amal manusia.
Prinsip dalam ibadah adalah ta‘abbud berdasarkan nash, tanpa mempertimbangan alasan dan makna. Sedangkan prinsip dalam mu‘amalah adalah mempertimbangkan alasan, makna, dan tujuan.
Syari‘at Islam adalah nash-nash, tujuan-tujuan, dan kaidah-kaidah. Ia merupakan bangunan universal yang meletakkan dasar-dasar umum bagi kehidupan manusia yang lurus, tanpa ada suatu keberatan dan kesulitan di dalamnya. Ia bertujuan membangun masyarakat keadilan dan kebajikan di semua bidang sosial, politik, dan ekonomi, dan dalam bingkai apa yang diistilahlah ulama fikih dengan jalbul-mashalih wa dar’ul-mafasid (mendatangkan kebajikan dan menolak kerusakan), di atas dasar-dasar kriteria syari‘at Islam dan hal-hal yang konstan darinya.
Syari‘at Islam dalam pemahaman kita memiliki ciri “tinggi, sempurna, dan langgeng”. Syari‘at Islam tinggi dalam berbagai karakteristik dan elemen-elemannya, di atas semua pemikiran manusia seberapapun besarnya pemikiran itu..Ia mengalahkan setiap pengalaman manusia di seluruh ruang dan waktu, meskipun pengalaman-pengalaman ini banyak, kaya, dan beragam. Sebagaimana syari‘at Islam memiliki ciri kesempurnaan yang tidak terhinggapi kekurangan dan ketidak-seimbangan. Ia juga memiliki ciri langgeng, yakni tetap dan tidak berubah, kokoh dan tidak berubah-ubah, karena ia selalu mendahului pemikiran manusia, sebagaimana ia mendampinginya, khususnya yang berkaitan dengan kaidah dan prinsip umum. syari‘at Islam menuntun pemikiran manusia di setiap fasenya, kendati pemikiran itu telah tinggi. Sanksi atau hukuman menurut pandangan Islam bukan faktor terbesar dalam menangani kejahatan. Sebaliknya, menjaga agar tidak terjadi kejahatan dengan mencegah sebab-sebabnya merupakan faktor terbesar, karena menjaga selalu lebih baik daripada mengobati.
Ijma‘ umat berpijak pada keluwesan syari‘at yang dibawa oleh nash dan ditegaskan oleh kaidah. “Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (al-Hajj [22]: 78)
“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.” (al-A‘raf [7]: 157)
“Janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya.” (al-Baqarah [2]: 286)
Pintu ijtihad dalam agama selalu terbuka. Tidak seorang pun mampu menutup apa yang telah dibuka oleh Allah Ta‘ala dan Rasul-Nya. Ijtihad termasuk fardhu kifayah bagi umat Islam. Jadi, umat harus menggunakan sarana dan prasarana baik berupa pesantren dan universitas untuk menghasilkan ulama semacam ini. “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (at-Taubah [9]: 122)
Pintu ijtihad dalam agama tidak terbuka kecuali bagi ahlinya dan pada tempatnya.. Yang dimaksud ahli ijtihad adalah orang yang telah memenuhi syarat-syarat dan kompetensi-kompetensi pokok yang disepakati oleh para ahli Ushul dan fiqih. Dan yang dimaksud dengan pada tempatnya adalah hukum-hukum yang bersifat zhanni (dugaan). Maksudnya, dalilnya bersifat zhanni dari segi keshahihan riwayatnya atau dari segi indikasinya, atau kedua-duanya. Mengenai qath‘iyyat (perkara-perkara pasti), maka tidak ada ruang ijtihad di dalamnya. Yaitu aspek-aspek konstan yang menjaga kesatuan akidah, pemikiran, emosi, dan perilaku umat.
Kaum Muslimin di manapun mereka berada adalah satu umat… Ridha menjadikan Allah Ta‘ala sebagai Rabb..Islam sebagai agama..Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Nabi dan Rasul..al-Qur’an sebagai imam dan manhaj..Mereka disatukan oleh ukhuwwah imaniyah.
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (al-Anbiya’ [21]: 92)
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.” (al-Hujurat [49]: 10)
Umat Islam adalah umat pertengahan yang memiliki akidah dan misi bagi semua umat manusia yang berbeda-beda ras, tanah air, bahasa, dan warna kulit mereka. Ia tidak terafilisasi kepada suatu ras, atau suatu kawasan, atau suatu bahasa, atau suatu suku. Misi umat kita bersifat rabbani, insani, akhlaqi, dan intinya dua hal:
Pertama, beriman kepada Allah semata. Mereka tidak mencari Tuhan selain Allah, tidak mengambil penolong selain Allah, serta tidak mencari hakim selain Allah.
Kedua, mengajak manusia kepada kebenaran, kebaikan, dan nilai-nilai luhur dengan mengemban kewajiban amar maruf dan nahi mungkar.
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma‘ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran [3]: 104)
“Sesungguhnya Allah membangkitkan kita untuk mengeluarkan manusia dari penyembahan para hamba kepada penyembahan Tuhan para hamba, dari sempitnya dunia kepada luasnya dunia, dan dari ketidak-adilan agama-agama kepada keadilan Islam.” (Pernyataan Rib‘i bin ‘Amir kepada Rustum pemimpin militer Persia)
Kedua: Keadilan 
Keadilan merupakan sunnah kauniyah yang di atasnya Allah menegakkan langit dan bumi. Peradaban tidak bisa dibangun dan pembangunan tidak bisa berjalan kecuali di bawah naungan keadilan. Negara tidak bisa stabil dan kekuasaannya tidak bisa efektif kecuali dengan keadilan. Allah menurunkan Kitab-Kitab dan mengutus para Rasul dengan membawa keterangan-keterangan dan petunjuk agar manusia berlaku adil dan memutuskan perkara dengan adil.
Keadilan dianggap sebagai inti syari‘at Islam. Syari‘at Islam datang hanya untuk menegakkan masyarakat adil dan egaliter antara semua umat manusia, baik penguasa atau rakyat, muslim dan non-muslim.
Keadilan tidak ada artinya tanpa jaminan kebebasan, persamaan, dan terwujudnya prinsip musyawarah. Kebebasan dan persamaan itu tidak bisa tegak pada tataran visi, organisasi, dan aksi kecuali jika berpijak pada prinsip keadilan. Dengan keadilan dicapai keseimbangan antara kepentingan-kepentingan individu dan kelompok. Dengan keadilan, kemaslahatan kekuasaan terjamin dan tidak berubah menjadi institusi yang menindas rakyat dan kepentingan-kepentingannya.
Sesungguhnya penegakan keadilan merupakan tugas praksis yang mengharuskan masyarakat memiliki sarana dan prsasana untuk merealisasikan keadilan, mencegah kezhaliman, dan menghentikan kesewenang-wenangan. Yaitu dengan cara mendidik individu-individu dengan berbagai prinsip dan nilai-nilai luhur yang mendorong mereka untuk berkorban dalam rangka menegakkan keadilan dan kesamaan hak di antara manusia, serta menegakkan pemerintahan di atas prinsip keadilan yang tercermin pada instansi pemerintah itu sendiri dan aplikasi keadilan di dunia realitas.
Sesungguhnya penegakan keadilan dengan konsepnya yang komprehensif tidak bisa teralisir kecuali dengan komitmen pada syari‘at Islam dan petunjuk Islam di setiap cabang dan bidang kehidupan.
Ketiga: Kebebasan
Allah menciptakan manusia dalam keadaan bebas berkehendak, dan memberinya kemampuan untuk memilih pendapat dan perbuatan yang dikehendakinya. Kebebasan merupakan fitrah yang ditanamkan pada manusia agar ia terebas dari setiap ikatan dan belenggu yang membatasinya, untuk menjadi hamba Allah semata, melawan setiap usaha penindasan, dan membantu orang lain mewujudkan hal serupa. Pelanggaran terhadap kebebasan manusia dianggap sebagai penentangan terhadap kehendak Tuhan Pencipta. Syari‘at Islam mewajibkan negara untuk menjaga kebebasan warganya, dan menyediakan iklim yang mendorong warganya mencapai kebebasan dalam bentuknya yang paling ideal dalam menghadapi berbagai tekanan sosial.
Dengan pengertian ini, kebebasan merupakan nilai tertinggi dan prinsip umum yang mencakup semua sisi kehidupan manusia, karena ia berakar pada hatinya yang paling dalam, kesadarannya, dan persepsinya, sehingga kebebasan itu menjadikannya manusia merdeka dan sama, menyangkut pandangannya terhadap orang lain. Kebebasan itu bersifat mutlak, tidak terikat kecuali dengan prinsip-prinsip syari‘at, dan tidak terbingkai kecuali dengan nilai-nilai agama.
Aturan penggunaan kebebasan itu harus memenuhi dua syarat:
Pertama, memelihara dasar prinsip umum yang menjadi pijakan kebebasan.
Kedua, aturan penggunaan kebebasan itu tidak boleh menyentuh sumber-sumber dasar hak ini.
Menghhormati kebebasan merupakan kebutuhan hidup dan syarat wajib untuk melejitkan potensi dan daya kreatifitas individu, serta mendorong mereka untuk meningkatkan kontribusi dan produksi.
Keempat: Kesamaan
Prinsip kesamaan berlandaskan pada kesamaan asal-muasal manusia, karena seluruh manusia itu keturunan Adam, dan Adam itu terbuat dari tanah. Sedangkan esensi prinsip kesamaan adalah kesamaan undang-undang di antara individu-individu masyarakat. Karena manusia, baik yang lemah atau yang kuat, yang kaya atau yang miskin, penguasa atau pemerintah, itu setara di hadapan undang-undang dan peradilan. Tidak ada perbedaan di antara mereka disebabkan keturunan, ras, warna kulit, profesi, dan status sosial.
Di dalam pokok-pokok proyek umum kita, kita tidak bergerak dalam kehampaan, dan tidak membangun suatu umat dari ketidaaan. Sebaliknya, kita bersandar pada tradisi sosial Islami selama 1400 tahun. Memang benar bahwa tradisi ini sedikit banyak telah mengalami ketidak-seimbangan di sana sini. Hanya saja, dalam ijtihad kita, ia tetap menjadi dasar yang layak untuk menilai dan meluruskan. Di antara inti sikap kita secara syar‘i dan hadhari (peradaban) adalah bahwa hikmah merupakan barang milik kita yang hilang. Apapun keterlibatan kita dalam membangun peradaban manusia, baik kecil atau besar, maka kita meyakini bahwa kebudayaan berbagai umat, pengalaman berbagai bangsa, dan fakta-fakta peradaban manusia dengan dua sisinya, materiil dan psikologis, merupakan sumber untuk memperkaya proyek peradaban kita. “Hikmah adalah barang milik orang mukmin yang hilang. Kapan dia mendapatinya, maka dialah yang paling berhak atasnya.” [1] Pendayagunaan berbagai kekayaan tersebut harus diatur dengan aturan-aturan syari‘at dan berbaga maslahat yang disyari‘atkan.

[1] HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah, dan Ibnu ‘Asakir dari Ali. As-Suyuthi menilai hadits ini hasan dalam kitab al-Jami‘ ash-Shaghir.
(im)

KATA MEREKA

Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com

Lebih baru Lebih lama