Bahasan Pertama: Landasan dan Titik Tolak
Pertama: Islam
Dengan kontribusi teori dan keilmuannya sepanjang masa, Islam telah
membentuk jati diri umat, merumuskan identitasnya, serta membangun
fondasi undang-undang yang berkaitan dengan mental, intelektual, dan
amal. Di atas fondasi ini undang-undang tersebut terumuskan secara serta
merta. Dan di dalam jiwa jutaan anak bangsa ini, ukuran-ukuran benar
dan salah, baik dan jahat, serta indah dan buruk itu menjadi sangat
jelas.
Islam adalah agama pamungkas yang diridhai Allah bagi hamba-hamba-Nya
di muka bumi ini. Islam mengatur setiap aspek kehidupan manusia,
mengatur berbagai urusan masyarakat dalam setiap sisinya, baik perilaku,
sosial, politik, dan ekonomi. Islam dianut oleh segenap anak bangsa
ini. Mereka menghalalkan apa yang dihalalkannya, mengharamkan apa yang
diharamkannya, komitmen terhadap perintah-perintahnya, menerima
arahan-arahannya, serta menjadikannya sebagai pemutus perkara untuk
menyelesaikan perselisihan mereka, menjadikannya landasan untuk
mengatasi problematika mereka. Hanya dengan mengikuti manhajnya sajalah
kebahagiaan dan kebaikan manusia di dunia dan akhirat dapat terwujud.
Allah berfirman, “Jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, maka
barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, maka ia tidak akan sesat dan
tidak akan celaka.” (Thaha [20]: 123)
Islam dalam pemahaman Al-Ikhwan al-Muslimun merupakan sistem
komprehensif yang menyentuh semua fenomena kehidupan. Islam adalah
negara dan tanah air, atau pemerintah dan rakyat. Islam adalah akhlak
dan kekuatan, atau rahmat dan keadilan. Islam adalah kebudayaan dan
undang-undang, atau ilmu dan peradilan. Islam adalah materi atau kerja
dan kekayaan. Islam adalah jihad dan dakwah, atau pasukan dan pemikiran.
Sebagaimaan Islam adalah akidah yang murni sekaligus ibadah yang benar.
Kita meyakini bahwa fondasi pertama yang menjadi pijakan umat ini
adalah akidah Islam. Yaitu akidah yang membangun, bukan
merusak..menyatukan, bukan memecah belah..Karena akidah Islam berpijak
pada seluruh warisan risalah Ilahi dan keimanan kepada Rasul-Rasul Allah
seluruhnya. “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari Rasul-Rasul-Nya.” (al-Baqarah [2]: 285)
Akidah ini memiliki tema komprehensif yang merangkumnya, serta syi’ar
sempurna yang mengartikulasikannya. Yaitu kesaksian bahwa tiada Tuhan
selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah Utusan Allah. Jadi, tidak ada
penghambaan dan ketundukan kepada kekuasaan apapun selain kekuasaan
Allah, tidak pula kepada hukum apapun selain hukum Allah, tidak pula
kepada perintah apapun selain perintah Allah, serta menolak loyalitas
kecuali kepada Allah, dan menolak cinta selain kepada-Nya dan di
jalan-Nya.
“Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat
(ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa
tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan
sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain
sebagai Tuhan selain Allah.” (Ali Imran [3]: 64)
Kita meyakini bahwa sumber pertama akidah, syari‘at, akhlak,
nilai-nilai, pemahaman, dan kriteria Islam adalah al-Qur’an al-Karim.
Sebuah Kitab yang tidak termasuki kebatilan, baik dari depan atau dari
belakang. Allah sendiri menjamin untuk menjelaskan, memudahkan, dan
memeliharanya. Sebuah Kitab yang berbahasa Arab, tetapi universal
kandungan dan orientasinya.
Kita mengimani bahwa Sunnah merupakan sumber kedua Islam setelah
al-Qur’an..Ia menafsirkan penjelasan global al-Qur’an, mengkhususkan
penjelasan umumnya, dan membatasi penjelasan mutlak-nya. Sunnah dalam
pemahaman kita adalah apa yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam bentuk ucapan, perbuatan, dan pengakuan.
“Katakanlah, ‘Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul…Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.’” (an-Nur [24]: 54).
“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah
aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imran [3]: 31)
Imam Hasan al-Banna telah menjelaskan secara garis besar pemahaman
Al-Ikhwan al-Muslimun tentang prinsip ini, “Al-Qur’an al-Karim dan
Sunnah Muthahharah merupakan referensi setiap Muslim dalam mengenali
hukum-hukum Islam. Al-Qur’an harus dipahami sesuai dengan kaidah bahasa
Arab, dengan tidak memaksakan dan tidak mengada-ada. Sedangkan pemahaman
tentang Sunnah Muthahharah dikembalikan kepada para ahli Hadits yang
tepercaya.”
“Kita percaya bahwa Islam tidak mengenal perdukunan, tidak ada
lapisan masyarakat yang memonopili agama, atau menguasai nurani, dan
menutup pintu Allah bagi manusia kecuali melalui jalannya..Semua manusia
dalam Islam bertanggungjawab atas agamanya sendiri, tanpa membutuhkan
mediator antara mereka dan Tuhan mereka.
Ulama Islam tidak lain adalah para pakar di bidang spesialisasi
mereka dan mereka menjadi rujukan di dalamnya, sebagaimana para pakar
menjadi rujukan dalam sebuah disiplin ilmu. “Maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia.” (al-Furqan [25]: 59)
“Dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh yang Maha Mengetahui.” (Fathir [35]: 14)
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (an-Nahl [16]: 43)
Di antara hak setiap muslim jika ia mau adalah menjadi cendekia
melalui kajian dan spesialisasi, bukan melalui warisan dan gelar. Karena
Islam menolak dikotomi manusia dan berbagai lembaga menjadi bidang
agama dan bukan agama. Jadi, tidak ada dikotomi manusia, pendidikan,
undang-undang, dan lembaga. Seluruhnya harus dalam kerangka taat kepada
Allah dan mengabdi kepada manusia.
Syari‘at Islam merupakan syari‘at yang komprehensif. Ia datang untuk
mengatur prinsip-prinsip hubungan antara seseorang dengan Tuhannya,
antara dia dengan dirinya sendiri, antara dia dengan masyarakatnya,
antara dia dengan umatnya yang terbesar, antara dia dan umat manusia
seluruhnya. Bahkan antara dia dengan alam semesta yang besar di
sekitarnya.
Syari‘at Islam merupakan wahyu Allah Ta‘ala yang terefleksi di dalam al-Qur’an al-Karim dan di dalam Sunnah Nabawiyyah yang
shahih dan suci. Fikih bagi kita adalah kerja akal yang tunduk dan
terikat dalam kegiatan ijtihad, berpikir, dan menarik kesimpulan dengan
kriteria-kriteria syar‘i, ‘aqli, dan linguistik, serta
mengerahkan segenap tenaga untuk memahami al-Qur’an dan Sunnah, dan
menyimpulkan hukum-hukum praktis dari keduanya. Jadi, syari‘at adalah
wahyu rabbani, sementara fiqih adalah amal manusia.
Prinsip dalam ibadah adalah ta‘abbud berdasarkan nash, tanpa mempertimbangan alasan dan makna. Sedangkan prinsip dalam mu‘amalah adalah mempertimbangkan alasan, makna, dan tujuan.
Syari‘at Islam adalah nash-nash, tujuan-tujuan, dan kaidah-kaidah. Ia
merupakan bangunan universal yang meletakkan dasar-dasar umum bagi
kehidupan manusia yang lurus, tanpa ada suatu keberatan dan kesulitan di
dalamnya. Ia bertujuan membangun masyarakat keadilan dan kebajikan di
semua bidang sosial, politik, dan ekonomi, dan dalam bingkai apa yang
diistilahlah ulama fikih dengan jalbul-mashalih wa dar’ul-mafasid (mendatangkan kebajikan dan menolak kerusakan), di atas dasar-dasar kriteria syari‘at Islam dan hal-hal yang konstan darinya.
Syari‘at Islam dalam pemahaman kita memiliki ciri “tinggi, sempurna,
dan langgeng”. Syari‘at Islam tinggi dalam berbagai karakteristik dan
elemen-elemannya, di atas semua pemikiran manusia seberapapun besarnya
pemikiran itu..Ia mengalahkan setiap pengalaman manusia di seluruh ruang
dan waktu, meskipun pengalaman-pengalaman ini banyak, kaya, dan
beragam. Sebagaimana syari‘at Islam memiliki ciri kesempurnaan yang
tidak terhinggapi kekurangan dan ketidak-seimbangan. Ia juga memiliki
ciri langgeng, yakni tetap dan tidak berubah, kokoh dan tidak
berubah-ubah, karena ia selalu mendahului pemikiran manusia, sebagaimana
ia mendampinginya, khususnya yang berkaitan dengan kaidah dan prinsip
umum. syari‘at Islam menuntun pemikiran manusia di setiap fasenya,
kendati pemikiran itu telah tinggi. Sanksi atau hukuman menurut
pandangan Islam bukan faktor terbesar dalam menangani kejahatan.
Sebaliknya, menjaga agar tidak terjadi kejahatan dengan mencegah
sebab-sebabnya merupakan faktor terbesar, karena menjaga selalu lebih
baik daripada mengobati.
Ijma‘ umat berpijak pada keluwesan syari‘at yang dibawa oleh nash dan ditegaskan oleh kaidah. “Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (al-Hajj [22]: 78)
“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang
(namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di
sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang
mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala
yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang
dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.” (al-A‘raf [7]: 157)
“Janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat
sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan
kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami
memikulnya.” (al-Baqarah [2]: 286)
Pintu ijtihad dalam agama selalu terbuka. Tidak seorang pun mampu
menutup apa yang telah dibuka oleh Allah Ta‘ala dan Rasul-Nya. Ijtihad
termasuk fardhu kifayah bagi umat Islam. Jadi, umat harus
menggunakan sarana dan prasarana baik berupa pesantren dan universitas
untuk menghasilkan ulama semacam ini. “Tidak sepatutnya bagi
mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari
tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada
kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya.” (at-Taubah [9]: 122)
Pintu ijtihad dalam agama tidak terbuka kecuali bagi ahlinya dan pada
tempatnya.. Yang dimaksud ahli ijtihad adalah orang yang telah memenuhi
syarat-syarat dan kompetensi-kompetensi pokok yang disepakati oleh para
ahli Ushul dan fiqih. Dan yang dimaksud dengan pada tempatnya adalah
hukum-hukum yang bersifat zhanni (dugaan). Maksudnya, dalilnya bersifat zhanni dari segi keshahihan riwayatnya atau dari segi indikasinya, atau kedua-duanya. Mengenai qath‘iyyat (perkara-perkara pasti), maka
tidak ada ruang ijtihad di dalamnya. Yaitu aspek-aspek konstan yang
menjaga kesatuan akidah, pemikiran, emosi, dan perilaku umat.
Kaum Muslimin di manapun mereka berada adalah satu umat… Ridha
menjadikan Allah Ta‘ala sebagai Rabb..Islam sebagai agama..Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Nabi dan Rasul..al-Qur’an sebagai imam dan manhaj..Mereka disatukan oleh ukhuwwah imaniyah.
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (al-Anbiya’ [21]: 92)
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.” (al-Hujurat [49]: 10)
Umat Islam adalah umat pertengahan yang memiliki akidah dan misi bagi
semua umat manusia yang berbeda-beda ras, tanah air, bahasa, dan warna
kulit mereka. Ia tidak terafilisasi kepada suatu ras, atau suatu
kawasan, atau suatu bahasa, atau suatu suku. Misi umat kita bersifat rabbani, insani, akhlaqi, dan intinya dua hal:
Pertama, beriman kepada Allah semata. Mereka tidak mencari
Tuhan selain Allah, tidak mengambil penolong selain Allah, serta tidak
mencari hakim selain Allah.
Kedua, mengajak manusia kepada kebenaran, kebaikan, dan nilai-nilai luhur dengan mengemban kewajiban amar maruf dan nahi mungkar.
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma‘ruf dan mencegah dari yang
mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran [3]: 104)
“Sesungguhnya Allah membangkitkan kita untuk mengeluarkan manusia
dari penyembahan para hamba kepada penyembahan Tuhan para hamba, dari
sempitnya dunia kepada luasnya dunia, dan dari ketidak-adilan
agama-agama kepada keadilan Islam.” (Pernyataan Rib‘i bin ‘Amir kepada
Rustum pemimpin militer Persia)
Kedua: Keadilan
Keadilan merupakan sunnah kauniyah yang di atasnya Allah
menegakkan langit dan bumi. Peradaban tidak bisa dibangun dan
pembangunan tidak bisa berjalan kecuali di bawah naungan keadilan.
Negara tidak bisa stabil dan kekuasaannya tidak bisa efektif kecuali
dengan keadilan. Allah menurunkan Kitab-Kitab dan mengutus para Rasul
dengan membawa keterangan-keterangan dan petunjuk agar manusia berlaku
adil dan memutuskan perkara dengan adil.
Keadilan dianggap sebagai inti syari‘at Islam. Syari‘at Islam datang
hanya untuk menegakkan masyarakat adil dan egaliter antara semua umat
manusia, baik penguasa atau rakyat, muslim dan non-muslim.
Keadilan tidak ada artinya tanpa jaminan kebebasan, persamaan, dan
terwujudnya prinsip musyawarah. Kebebasan dan persamaan itu tidak bisa
tegak pada tataran visi, organisasi, dan aksi kecuali jika berpijak pada
prinsip keadilan. Dengan keadilan dicapai keseimbangan antara
kepentingan-kepentingan individu dan kelompok. Dengan keadilan,
kemaslahatan kekuasaan terjamin dan tidak berubah menjadi institusi yang
menindas rakyat dan kepentingan-kepentingannya.
Sesungguhnya penegakan keadilan merupakan tugas praksis yang
mengharuskan masyarakat memiliki sarana dan prsasana untuk
merealisasikan keadilan, mencegah kezhaliman, dan menghentikan
kesewenang-wenangan. Yaitu dengan cara mendidik individu-individu dengan
berbagai prinsip dan nilai-nilai luhur yang mendorong mereka untuk
berkorban dalam rangka menegakkan keadilan dan kesamaan hak di antara
manusia, serta menegakkan pemerintahan di atas prinsip keadilan yang
tercermin pada instansi pemerintah itu sendiri dan aplikasi keadilan di
dunia realitas.
Sesungguhnya penegakan keadilan dengan konsepnya yang komprehensif
tidak bisa teralisir kecuali dengan komitmen pada syari‘at Islam dan
petunjuk Islam di setiap cabang dan bidang kehidupan.
Ketiga: Kebebasan
Allah menciptakan manusia dalam keadaan bebas berkehendak, dan
memberinya kemampuan untuk memilih pendapat dan perbuatan yang
dikehendakinya. Kebebasan merupakan fitrah yang ditanamkan pada manusia
agar ia terebas dari setiap ikatan dan belenggu yang membatasinya, untuk
menjadi hamba Allah semata, melawan setiap usaha penindasan, dan
membantu orang lain mewujudkan hal serupa. Pelanggaran terhadap
kebebasan manusia dianggap sebagai penentangan terhadap kehendak Tuhan
Pencipta. Syari‘at Islam mewajibkan negara untuk menjaga kebebasan
warganya, dan menyediakan iklim yang mendorong warganya mencapai
kebebasan dalam bentuknya yang paling ideal dalam menghadapi berbagai
tekanan sosial.
Dengan pengertian ini, kebebasan merupakan nilai tertinggi dan
prinsip umum yang mencakup semua sisi kehidupan manusia, karena ia
berakar pada hatinya yang paling dalam, kesadarannya, dan persepsinya,
sehingga kebebasan itu menjadikannya manusia merdeka dan sama,
menyangkut pandangannya terhadap orang lain. Kebebasan itu bersifat
mutlak, tidak terikat kecuali dengan prinsip-prinsip syari‘at, dan tidak
terbingkai kecuali dengan nilai-nilai agama.
Aturan penggunaan kebebasan itu harus memenuhi dua syarat:
Pertama, memelihara dasar prinsip umum yang menjadi pijakan kebebasan.
Kedua, aturan penggunaan kebebasan itu tidak boleh menyentuh sumber-sumber dasar hak ini.
Menghhormati kebebasan merupakan kebutuhan hidup dan syarat wajib
untuk melejitkan potensi dan daya kreatifitas individu, serta mendorong
mereka untuk meningkatkan kontribusi dan produksi.
Keempat: Kesamaan
Prinsip kesamaan berlandaskan pada kesamaan asal-muasal manusia,
karena seluruh manusia itu keturunan Adam, dan Adam itu terbuat dari
tanah. Sedangkan esensi prinsip kesamaan adalah kesamaan undang-undang
di antara individu-individu masyarakat. Karena manusia, baik yang lemah
atau yang kuat, yang kaya atau yang miskin, penguasa atau pemerintah,
itu setara di hadapan undang-undang dan peradilan. Tidak ada perbedaan
di antara mereka disebabkan keturunan, ras, warna kulit, profesi, dan
status sosial.
Di dalam pokok-pokok proyek umum kita, kita tidak bergerak dalam
kehampaan, dan tidak membangun suatu umat dari ketidaaan. Sebaliknya,
kita bersandar pada tradisi sosial Islami selama 1400 tahun. Memang
benar bahwa tradisi ini sedikit banyak telah mengalami
ketidak-seimbangan di sana sini. Hanya saja, dalam ijtihad kita, ia
tetap menjadi dasar yang layak untuk menilai dan meluruskan. Di antara
inti sikap kita secara syar‘i dan hadhari (peradaban) adalah
bahwa hikmah merupakan barang milik kita yang hilang. Apapun
keterlibatan kita dalam membangun peradaban manusia, baik kecil atau
besar, maka kita meyakini bahwa kebudayaan berbagai umat, pengalaman
berbagai bangsa, dan fakta-fakta peradaban manusia dengan dua sisinya,
materiil dan psikologis, merupakan sumber untuk memperkaya proyek
peradaban kita. “Hikmah adalah barang milik orang mukmin yang hilang. Kapan dia mendapatinya, maka dialah yang paling berhak atasnya.” [1] Pendayagunaan berbagai kekayaan tersebut harus diatur dengan aturan-aturan syari‘at dan berbaga maslahat yang disyari‘atkan.
[1] HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah, dan Ibnu ‘Asakir dari Ali. As-Suyuthi menilai hadits ini hasan dalam kitab al-Jami‘ ash-Shaghir.
(im)
(im)
Posting Komentar
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com