Ustadz Dr. Yusuf Al-Qardhawi
Pertanyaan:
Kami ingin mengetahui hukum boleh tidaknya laki-laki memandang perempuan, malah lebih khusus lagi, perempuan memandang laki-laki Sebab, kami pernah mendengar dari seorang penceramah bahwa wanita itu tidak boleh memandang laki-laki, baik dengan syahwat maupun tidak. Sang penceramah tadi mengemukakan dalil dua buah hadits.
Pertama, bahwa Nabi saw. pernah bertanya kepada putrinya, Fatimah r.a., "Apakah yang paling baik bagi wanita?" Fatimah menjawab, "janganlah ia memandang laki-laki dan jangan ada laki- laki memandang kepadanya." Lalu Nabi saw. menciumnya seraya berkata, "Satu keturunan yang sebagiannya (keturunan dari yang lain).1
Kedua, hadits Ummu Salamah r.a., yang berkata, "Saya pernah berada di sisi Rasulullah saw. dan di sebelah beliau ada Maimunah, kemudian Ibnu Ummi Maktum datang menghadap. Peristiwa ini terjadi setelah kami diperintahkan berhijab. Lalu Nabi saw. bersabda, "Berhijablah kalian daripadanya!" Lalu kami berkata, "Wahai Rasulullah, bukankah dia tunanetra, sehingga tidak mengetahui kami?" Beliau menjawab, "Apakah kalian juga tuna netra?" Bukankah kalian dapat melihatnya?" (HR Abu Daud dan Tirmidzi. Beliau (Tirmidzi) berkata, "Hadits ini hasan sahih.)2
Pertanyaan saya, bagaimana mungkin wanita tidak melihat laki-laki dan laki-laki tidak melihat wanita, terlebih pada zaman kita sekarang ini? Apakah hadits-hadits tersebut sahih dan apa maksudnya?
Saya harap Ustadz tidak mengabaikan surat saya, dan saya mohon Ustadz berkenan memberikan penjelasan mengenai masalah ini sehingga dapat menerangi jalan orang-orang bingung, yang terus saja memperdebatkan masalah ini dengan tidak ada ujungnya.
Semoga Allah memberi taufik kepada Ustadz.
Jawaban:
Allah menciptakan seluruh makhluk hidup berpasang-pasangan, bahkan menciptakan alam semesta ini pun berpasang-pasangan, sebagaimana firman-Nya:
"Maha Suci Allah yang telah menciptakan pasang-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui" (Yasin: 36)
"Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah." (ad-Dzaariyat: 49)
Berdasarkan sunnah kauniyah (ketetapan Allah) yang umum ini, manusia diciptakan berpasang-pasangan, terdiri dari jenis laki-laki dan perempuan, sehingga kehidupan manusia dapat berlangsung dan berkembang. Begitu pula dijadikan daya tarik antara satu jenis dengan jenis lain, sebagai fitrah Allah untuk manusia.
Setelah menciptakan Adam, Allah menciptakan (dari dan untuk Adam) seorang istri supaya ia merasa tenang hidup dengannya, begitu pula si istri merasa tenang hidup bersamanya. Sebab, secara hukum fitrah, tidak mungkin ia (Adam) dapat merasa bahagia jika hanya seorang diri, walaupun dalam surga ia dapat makan minum secara leluasa.
Seperti telah saya singgung di muka bahwa taklif ilahi (tugas dari Allah) yang pertama adalah ditujukan kepada kedua orang ini sekaligus secara bersama-sama, yakni Adam dan istrinya:
"... Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim." (al-Baqarah: 35)
Maka hiduplah mereka didalam surga bersama-sama, kemudian memakan buah terlarang bersama-sama, bertobat kepada Allah bersama-sama, turun ke bumi bersama-sama, dan mendapatkan taklif-taklif ilahi pun bersama-sama:
"Allah beffirman, Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka." (Thaha: 123)
Setelah itu, berlangsunglah kehidupan ini. Laki-laki selalu membutuhkan perempuan, tidak dapat tidak; dan perempuan selalu membutuhkan laki-laki, tidak dapat tidak. "Sebagian kamu adalah dari sebagian yang lain." Dari sini tugas-tugas keagamaan dan keduniaan selalu mereka pikul bersama-sama.
Karena itu, tidaklah dapat dibayangkan seorang laki-laki akan hidup sendirian, jauh dari perempuan, tidak melihat perempuan dan perempuan tidak melihatnya, kecuali jika sudah keluar dari keseimbangan fitrah dan menjauhi kehidupan, sebagaimana cara hidup kependetaan yang dibikin-bikin kaum Nasrani. Mereka adakan ikatan yang sangat ketat terhadap diri mereka dalam kependetaan ini yang tidak diakui oleh fitrah yang sehat dan syariat yang lulus, sehingga mereka lari dari perempuan, meskipun mahramnya sendiri, ibunya sendiri, atau saudaranya sendiri. Mereka mengharamkan atas diri mereka melakukan perkawinan, dan mereka menganggap bahwa kehidupan yang ideal bagi orang beriman ialah laki-laki yang tidak berhubungan dengan perempuan dan perempuan yang tidak berhubungan dengan laki-laki, dalam bentuk apa pun.
Tidak dapat dibayangkan bagaimana wanita akan hidup sendirian dengan menjauhi laki-laki. Bukankah kehidupan itu dapat tegak dengan adanya tolong-menolong dan bantu-membantu antara kedua jenis manusia ini dalam urusan-urusan dunia dan akhirat?
"Dan orang-orangyang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain..." (at-Taubah: 71)
Telah saya kemukakan pula pada bagian lain dari buku ini bahwa Al-Qur'an telah menetapkan wanita - yang melakukan perbuatan keji secara terang-terangan - untuk "ditahan" di rumah dengan tidak boleh keluar dari rumah, sebagai hukuman bagi mereka - sehingga ada empat orang laki-laki muslim yang dapat memberikan kesaksian kepadanya. Hukuman ini terjadi sebelum ditetapkannya peraturan (tasyri') dan diwajibkannya hukuman (had) tertentu. Allah berfirman:
"Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya." (an-Nisa': 15)
Hakikat lain yang wajib diingat di sini - berkenaan dengan kebutuhan timbal balik antara laki-laki dengan perempuan - bahwa Allah SWT telah menanamkan dalam fitrah masing-masing dari kedua jenis manusia ini rasa ketertarikan terhadap lawan jenisnya dan kecenderungan syahwati yang instinktif. Dengan adanya fitrah ketertarikan ini, terjadilah pertemuan (perkawinan), dan reproduksi, sehingga terpeliharalah kelangsungan hidup manusia dan planet bumi ini.
Kita tidak boleh melupakan hakikat ini, ketika kita membicarakan hubungan laki-laki dengan perempuan atau perempuan dengan laki-laki. Kita tidak dapat menerima pernyataan sebagian orang yang mengatakan bahwa dirinya lebih tangguh sehingga tidak mungkin terpengaruh oleh syahwat atau dapat dipermainkan oleh setan.
Dalam kaitan ini, baiklah kita bahas secara satu persatu antara hukum memandang laki-laki terhadap perempuan dan perempuan terhadap laki-laki.
LAKI-LAKI MEMANDANG PEREMPUAN
Bagian pertama dari pernyataan ini sudah kami bicarakan dalam Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid I tentang wajib tidaknya memakai cadar, dan kami menguatkan pendapat jumhur ulama yang menafsirkan firman Allah:
"... Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak daripadanya... " (an-Nur: 31 )
Menurut jumhur ulama, perhiasan yang biasa tampak itu ialah "wajah dan telapak tangan." Dengan demikian, wanita boleh menampakkan wajahnya dan kedua telapak tangannya, bahkan (menurut pendapat Abu Hanifah dan al-Muzni) kedua kakinya.
Apabila wanita boleh menampakkan bagian tubuhnya ini (muka dan tangan/kakinya), maka bolehkah laki-laki melihat kepadanya ataukah tidak?
Pandangan pertama (secara tiba-tiba) adalah tidak dapat dihindari sehingga dapat dihukumi sebagai darurat. Adapun pandangan berikutnya (kedua) diperselisihkan hukumnya oleh para ulama.
Yang dilarang dengan tidak ada keraguan lagi ialah melihat dengan menikmati (taladzdzudz) dan bersyahwat, karena ini merupakan pintu bahaya dan penyulut api. Sebab itu, ada ungkapan, "memandang merupakan pengantar perzinaan." Dan bagus sekali apa yang dikatakan oleh Syauki ihwal memandang yang dilarang ini, yakni:
"Memandang (berpandangan) lalu tersenyum, lantas mengucapkan salam, lalu bercakap-cakap, kemudian berjanji, akhirnya bertemu."
Adapun melihat perhiasan (bagian tubuh) yang tidak biasa tampak, seperti rambut, leher, punggung, betis, lengan (bahu), dan sebagainya, adalah tidak diperbolehkan bagi selain mahram, menurut ijma. Ada dua kaidah yang menjadi acuan masalah ini beserta masalah-masalah yang berhubungan dengannya.
Pertama, bahwa sesuatu yang dilarang itu diperbolehkan ketika darurat atau ketika dalam kondisi membutuhkan, seperti kebutuhan berobat, melahirkan, dan sebagainya, pembuktikan tindak pidana, dan lain-lainnya yang diperlukan dan menjadi keharusan, baik untuk perseorangan maupun masyarakat.
Kedua, bahwa apa yang diperbolehkan itu menjadi terlarang apabila dikhawatirkan terjadinya fitnah, baik kekhawatiran itu terhadap laki-laki maupun perempuan. Dan hal ini apabila terdapat petunjuk petunjuk yang jelas, tidak sekadar perasaan dan khayalan sebagian orang-orang yang takut dan ragu-ragu terhadap setiap orang dan setiap persoalan.
Karena itu, Nabi saw. pernah memalingkan muka anak pamannya yang bernama al-Fadhl bin Abbas, dari melihat wanita Khats'amiyah pada waktu haji, ketika beliau melihat al-Fadhl berlama-lama memandang wanita itu. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa al-Fadhl bertanya kepada Rasulullah saw., "Mengapa engkau palingkan muka anak pamanmu?" Beliau saw. menjawab, "Saya melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, maka saya tidak merasa aman akan gangguan setan terhadap mereka."
Kekhawatiran akan terjadinya fitnah itu kembali kepada hati nurani si muslim, yang wajib mendengar dan menerima fatwa, baik dari hati nuraninya sendiri maupun orang lain. Artinya, fitnah itu tidak dikhawatirkan terjadi jika hati dalam kondisi sehat, tidak dikotori syahwat, tidak dirusak syubhat (kesamaran), dan tidak menjadi sarang pikiran-pikiran yang menyimpang.
WANITA MEMANDANG LAKI-LAKI
Diantara hal yang telah disepakati ialah bahwa melihat kepada aurat itu hukumnya haram, baik dengan syahwat maupun tidak, kecuali jika hal itu terjadi secara tiba-tiba, tanpa sengaja, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits sahih dari Jarir bin Abdullah, ia berkata:
"Saya bertanya kepada Nabi saw. Tentang memandang (aurat orang lain) secara tiba-tiba (tidak disengaja). Lalu beliau bersabda, 'Palingkanlah pandanganmu.'" (HR Muslim)
Lantas, apakah aurat laki-laki itu? Bagian mana saja yang disebut aurat laki-laki?
Kemaluan adalah aurat mughalladhah (besar/berat) yang telah disepakati akan keharaman membukanya di hadapan orang lain dan haram pula melihatnya, kecuali dalam kondisi darurat seperti berobat dan sebagainya. Bahkan kalau aurat ini ditutup dengan pakaian tetapi tipis atau menampakkan bentuknya, maka ia juga terlarang menurut syara'.
Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa paha laki-laki termasuk aurat, dan aurat laki-laki ialah antara pusar dengan lutut. Mereka mengemukakan beberapa dalil dengan hadits-hadits yang tidak lepas dari cacat. Sebagian mereka menghasankannya dan sebagian lagi mengesahkannya karena banyak jalannya, walaupun masing-masing hadits itu tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu hukum syara'.
Sebagian fuqaha lagi berpendapat bahwa paha laki-laki itu bukan aurat, dengan berdalilkan hadits Anas bahwa Rasulullah saw. pernah membuka pahanya dalam beberapa kesempatan. Pendapat ini didukung oleh Muhammad Ibnu Hazm.
Menurut mazhab Maliki sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab mereka bahwa aurat mughalladhah laki-laki ialah qubul (kemaluan) dan dubur saja, dan aurat ini bila dibuka dengan sengaja membatalkan shalat.
Para fuqaha hadits berusaha mengompromikan antara hadits-hadits yang bertentangan itu sedapat mungkin atau mentarjih (menguatkan salah satunya). Imam Bukhari mengatakan dalam kitab sahihnya "Bab tentang Paha," diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Jurhud, dan Muhammad bin-Jahsy dari Nabi saw. bahwa paha itu aurat, dan Anas berkata, "Nabi saw. pernah membuka pahanya." Hadits Anas ini lebih kuat sanadnya, sedangkan hadits Jurhud lebih berhati-hati.2
Syaukani, dalam kitabnya Nailul Athar menanggapi hadits-hadits yang mengatakan paha sebagai aurat, bahwa hadits-hadits itu hanya menceritakan keadaan (peristiwa), tidak bersifat umum.
Adapun al-muhaqqiq Ibnul Qayyim mengatakan dalam Tahdzibut Tahdzib Sunan Abi Daud sebagai berikut:
"Jalan mengompromikan hadits-hadits tersebut ialah apa yang dikemukakan oleh murid-murid Imam Ahmad dan lainnya bahwa aurat itu ada dua macam, yaitu mukhaffafah (ringan/keci]) dan mughallazhah (berat/besar). Aurat mughallazhah ialah qubul dan dubur, sedangkan aurat mukhaffafah ialah paha, dan tidak ada pertentangan antara perintah menundukkan pandangan dari melihat paha karena paha itu juga aurat, dan membukanya karena paha itu aurat mukhaffafah. Wallau a'lam."
Dalam hal ini terdapat rukhshah (keringanan) bagi para olahragawan dan sebagainya yang biasa mengenakan celana pendek, termasuk bagi penontonnya, begitu juga bagi para pandu (pramuka) dan pecinta alam. Meskipun demikian, kaum muslim berkewajiban menunjukkan kepada peraturan internasional tentang ciri khas kostum umat Islam dan apa yang dituntut oleh nilai-nilai agama semampu mungkin.
Perlu diingat bahwa aurat laki-laki itu haram dilihat, baik oleh perempuan maupun sesama laki-laki. Ini merupakan masalah yang sangat jelas.
Adapun terhadap bagian tubuh yang tidak termasuk aurat laki-laki, seperti wajah, rambut, lengan, bahu, betis, dan sebagainya, menurut pendapat yang sahih boleh dilihat, selama tidak disertai syahwat atau dikhawatirkan terjadinya fitnah. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha umat, dan ini diperlihatkan oleh praktek kaum muslim sejak zaman Nabi dan generasi sesudahnya, juga diperkuat oleh beberapa hadits sharih (jelas) dan tidak bisa dicela.
Sebagian fuqaha lagi berpendapat tidak bolehnya wanita memandang laki-laki secara umum, dengan alasan apa yang dikemukakan oleh saudara penanya dalam pertanyaannya di atas.
Adapun hadits Fatimah r.a. di atas tidak ada nilainya dilihat dari sisi ilmu. Saya tidak melihat satu pun kitab dari kitab-kitab dalil hukum yang memuat hadits tersebut, dan tidak ada seorang pun ahli fiqih yang menggunakannya sebagai dalil. Orang-orang yang sangat ketat melarang wanita melihat laki-laki pun tidak menyebutkan hadits tersebut. Ia hanya dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin.
Dalam mentakhrij hadits ini Imam al-Ilraqi berkata, "Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan ad-Daruquthni dalam kitab al-Afrad dari hadits Ali dengan sanad yang dhatif." (Ihya Ulumuddin, kitab an-Nikah, Bab Adab al-Mu'asyarah. Dan disebutkan oleh al-Haitsami dalam Majma'uz Zawaid 2:202 dan beliau berkata, "Diriwayatkan oleh al-Bazzar, dan dalam sanadnya terdapat orang yang tidak saya kenal."
Adapun hadits yang satu lagi (hadits Ummu Salamah, seperti disebutkan penanya; ed.) kami temukan penolakannya sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam meringkas pendapat mengenai masalah tersebut. Beliau mengatakan dalam kitab al-Mughni yang ringkasannya sebagai berikut:
"Adapun masalah wanita melihat laki-laki, maka dalam hal ini terdapat dua riwayat. Pertama, ia boleh melihat laki-laki asal tidak pada auratnya. Kedua, ia tidak boleh melihat laki-laki melainkan hanya bagian tubuh yang laki-laki boleh melihatnya. Pendapat ini yang dipilih oleh Abu Bakar dan merupakan salah satu pendapat di antara dua pendapat Imam Syafi'i.
Hal ini didasarkan pada riwayat az-Zuhri dari Ummu Salamah, yang berkata:
"Aku pernah duduk di sebelah Nabi saw., tiba-tiba Ibnu Ummi Maktum meminta izin masuk. Kemudian Nabi saw. bersabda, 'Berhijablah kamu daripadanya. 'Aku berkata, Wahai Rasulullah, dia itu tuna netra.' Beliau menjawab dengan nada bertanya, 'Apakah kamu berdua (Ummu Salamah dan Maimunah; penj.) juga buta dan tidak melihatnya?" ( HR Abu Daud. dan lain-lain)
Larangan bagi wanita untuk melihat aurat laki-laki didasarkan pada hipotesis bahwa Allah menyuruh wanita menundukkan pandangannya sebagaimana Dia menyuruh laki-laki berbuat begitu. Juga didasarkan pada hipotesis bahwa wanita itu adalah salah satu dari dua jenis anak Adam (manusia), sehingga mereka haram melihat (aurat) lawan jenisnya. Haramnya bagi wanita ini dikiaskan pada laki-laki (yang diharamkan melihat kepada lawan jenisnya).
Alasan utama diharamkannya melihat itu karena dikhawatirkan teriadinya fitnah. Bahkan, kekhawatiran ini pada wanita lebih besar lagi, sebab wanita itu lebih besar syahwatnya dan lebih sedikit (pertimbangan) akalnya.
Nabi saw. bersabda kepada Fatimah binti Qais:
"Beriddahlah enkau di rumah Ibnu Ummi Maktum, karena dia seorang tuna netra, engkau dapat melepas pakaianmu sedangkan dia tidak melihatmu."3 (Muttafaq alaih)
Aisyah berkata:
"Adalah Rasulullah saw. melindungiku dengan selendangnya ketika aku melihat orang-orang Habsyi sedang bernain-main (tontonan olah raga) dalam masjid." (Muttafaq alaih)
Dalam riwayat lain disebutkan, pada waktu Rasulullah saw. selesai berkhutbah shalat Id, beliau menuju kepada kaum wanita dengan disertai Bilal untuk memberi peringatan kepada mereka, lalu beliau menyuruh mereka bersedekah.
Seandainya wanita dilarang melihat laki-laki, niscaya laki-laki juga diwajibkan berhijab sebagaimana wanita
diwajibkan berhijab,4 supaya mereka tidak dapat melihat laki-laki.
Adapun mengenai hadits Nabhan (hadits kedua yang ditanyakan si penanya; ed.), Imam Ahmad berkata, "Nabhan meriwayatkan dua buah hadits aneh (janggal), yakni hadits ini dan hadits, "Apabila salah seorang di antara kamu mempunyai mukatab (budak yang mengadakan perjanjian dengan tuannya untuk menebus dirinya), maka hendaklah ia berhijab daripadanya." Dari pernyataan ini seakan-akan Imam Ahmad mengisyaratkan kelemahan hadits Nabhan tersebut, karena dia tidak meriwayatkan selain dua buah hadits yang bertentangan denganushul ini.
Ibnu Abdil Barr berkata, "Nabhan itu majhul, ia tidak dikenal melainkan melalui riwayat az-Zuhri terhadap hadits
ini; sedangkan hadits Fatimah itu sahih, maka berhujjah dengannya adalah suatu keharusan."
Kemudian Ibnu Abdil Barr memberikan kemungkinan bahwa hadits Nabhan itu khusus untuk istri-istri Nabi saw.
Demikianlah yang dikatakan Imam Ahmad dan Abu Daud.
Al-Atsram berkata, "Aku bertanya kepada Abi Abdillah, 'Hadits Nabhan ini tampaknya khusus untuk istri-istri Nabi, sedangkan hadits Fatimah untuk semua manusia? Beliau menjawab, 'Benar.'5
Kalaupun hadits-hadits ini dianggap bertentangan, maka mendahulukan hadits yang sahih itu lebih utama daripada mengambil hadits mufrad (diriwayatkan oleh perseorangan) yang dalam isnadnya terdapat pembicaraan." (Ibnu Qudamah, al-Mughni 6:563-564).
Jadi, memandang itu hukumnya boleh dengan syarat jika tidak dibarengi dengan upaya "menikmati" dan bersyahwat. Jika dengan menikmati dan bersyahwat, maka hukumnya haram. Karena itu, Allah menyuruh kaum mukminah menundukkan sebagian pandangannya sebagaimana Dia menyuruh laki-laki menundukkan sebagian pandangannya. Firman Allah:
"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pendangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya.'" (an-Nur: 30-31 )
Memang benar bahwa wanita dapat membangkitkan syahwat laki-laki lebih banyak daripada laki-laki membangkitkan syahwat wanita, dan memang benar bahwa wanita lebih banyak menarik laki-laki, serta wanitalah yang biasanya dicari laki-laki. Namun, semua ini tidak menutup kemungkinan bahwa di antara laki-laki ada yang menarik pandangan dan hati wanita karena kegagahan, ketampanan, keperkasaan, dan kelelakiannya, atau karena faktor-faktor lain yang menarik pandangan dan hati perempuan.
Al-Qur'an telah menceritakan kepada kita kisah istri pembesar Mesir dengan pemuda pembantunya, Yusuf, yang telah menjadikannya dimabuk cinta. Lihatlah, bagaimana wanita itu mengejar-ngejar Yusuf, dan bukan sebaliknya, serta bagaimana dia menggoda Yusuf untuk menundukkannya seraya berkata, "Marilah ke sini." Yusuf berkata, "Aku berlindung kepada Allah." (An-Nur: 23)
Al-Qur'an juga menceritakan kepada kita sikap wanita-wanita kota ketika pertama kali mereka melihat ketampanan dan keelokan serta keperkasaan Yusuf:
"Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat duduk dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian dia berkata (kepada Yusut), 'Keluarlah (tampakkanlah dirimu) kepada mereka.' Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa)-nya, dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata, 'Maha sempuma Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini hanyalah malaikat yang mulia.' Wanita itu berkata, 'Itulah orang yang kamu cela aku karena (tertarik) kepadanya, dan sesungguhnya aku telah menggoda dia untuk menundukkan dirinya (kepadaku) akan tetapi dia menolak. Dan sesungguhnya jika dia tidak menaati apa yang aku perintahkan kepadanya, niscaya dia akan dipenjarakan dan dia akan termasuk golongan orang-orang yang hina." (Yusuf: 31-32)
Apabila seorang wanita melihat laki-laki lantas timbul hasrat kewanitaannya, hendaklah ia menundukkan pandangannya. Janganlah ia terus memandangnya, demi menjauhi timbulnya fitnah, dan bahaya itu akan bertambah besar lagi bila si laki-laki juga memandangnya dengan rasa cinta dan syahwat. Pandangan seperti inilah yang dinamakan dengan "pengantar zina" dan yang disifati sebagai "panah iblis yang beracun," dan ini pula yang dikatakan oleh penyair:
"Semua peristiwa (perzinaan) itu bermula dari memandang. Dan api yang besar itu berasal dari percikan api yang kecil."
Akhirnya, untuk mendapat keselamatan, lebih baik kita menjauhi tempat-tempat dan hal-hal yang mendatangkan keburukan dan bahaya. Kita memohon kepada Allah keselamatan dalam urusan agama dan dunia. Amin.
Catatan kaki:
1 Takhrijnya akan dibicarakan nanti. ^
2 Perlu diperhatikan bahwa Imam Bukhari men-ta'liq-kan (menyebutkan hadits secara langsung tanpa menyebutkan nama orang yang menyampaikan kepadanya) dengan menggunakan bentuk kata ruwiya (diriwayatkan), yang menunjukkan bahwa riwayat itu dha'if menurut beliau, sebagaimana dijelaskan dalam biografi beliau. ^
3 Dalam riwayat Muslim dikatakan, "Karena aku (Nabi saw.) tidak suka kerudungmu jatuh dari tubuhmu arau tersingkap betismu, lantas ada sebagian tubuhmu yang dilihat orang lain, yang engkau tidak menyukainya." Ini dimaksudkan bahwa Rasulullah saw. bersikap lemah lembut kepadanya dan hendak memberinya kemudahan sehingga dia sepanjang hari tidak menutup seluruh tubuhnya terus menerus kalau ia bertempat tinggal di rumah ummu Syuraik yang banyak tamunya. Sedangkan Ibnu ummi Maktum yang tuna netra itu tidak mungkin dapat melihatnya, sehingga dengan demikian dia mendapatkan sedikit keringanan. ^
4 Kalau yang dimaksud dengan "hijab" di sini ialah memakai cadar dan menutup wajah, maka hal ini perlu dikaji, dan kami telah memberikan penolakan secara rinci dalam fatwa kami tentang "Apakah Cadar itu Wajib?" ^
5 Setelah meriwayatkan hadits ini Abu Daud berkata, "Ini adalah untuk istri-istri Nabi saw, secara khusus, apakah tidak Anda perhatikan ber'iddahnya Fatimah binti Qais di sisi Ibnu Ummi Maktum?." Lihat Sunnan Abi Daud, hadits nomor 4115. ^
Posting Komentar
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com