Siapakah Hasan Al-banna??

A.   Biografi Imam Syahid.
Imam Syahid Hasan Al-Banna dilahirkan di kota Mahmudiyah, Distrik Bahirah Mesir pada bulan Oktober 1906 M.  Orangtua beliau seorang ulama besar pada masanya, yaitu Ahmad Abdur Rahman Al-Banna, ulama yang banyak karyanya di bidang ulumul hadits.  Diantaranya yang terkenal “Al Fath Ar Rabbany li Tartib Musnad Al-Imam Ahmad”.  Disamping menulis kitab-kitab hadits, orang tua Hasan Al-Banna bekerja memperbaiki jam.
Sejak dini Al Imam sudah ditempa oleh keluarganya yang taat beragama untuk meraih dan memperdalam ilmu di berbagai tempat dan majelis ilmu.  Pertama kali beliau menggali ilmu di Madrasah Ar Rasyad, kemudian melanjutkan di Madrasah ‘Idadiyah di kota Mahmudiyah tempat beliau dilahirkan.
Pada usia beliau yang masih muda sudah memiliki perhatian yang besar terhadap persoalan dakwah.  Beliaupun mampu berbuat lebih banyak untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar.  Bersama teman-temannya di sekolah beliaupun membentuk perkumpulan “Akhlaq Adabiyah” dan perkumpulan menentang hal-hal yang diharamkan Imam Syahid sejak muda menginginkan dakwah Islamiyah tegak dan kokoh.
Pada tahun 1920 Imam Syahid melanjutkan pendidikannya di Darul Mu’allimin Damanhur, hingga menyelesaikan hafalan Qur’an diusianya yang belum genap 14 tahun.  Beliaupun aktif dalam pergerakan melawan penjajah.  Pada tahun 1923 Imam Syahid melanjutkan pendidikannya di Darul Ulum Kairo.  Disini Imam Syahid banyak mendapatkan wawasan yang luas dan mendalam.  Beliau menyelesaikan pendidikan di Darul Ulum pada tahun 1927 M, dengan hasil yang memuaskan, menduduki rangking pertama di Darul Ulum dan rangking kelima di seluruh Mesir dalam usianya yang baru menginjak 21 tahun.
Semenjak di Darul Ulum Kairo, beliau mendapatkan cakrawala berfikir lebih luas dan wawasan yang mendalam.  Beliau semakin giat dalam amal islami.  Bersama kawan-kawannya Imam Syahid giat melaksanakan dakwah di berbagai tempat, baik di perkumpulan-perkumpulan, kedai kopi ataupun di klab-klab.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Darul Ulum Kairo, beliau bekerja sebagai guru Ibtidaiyah (setingkat SD) di Ismailiyah meskipun mendapatkan penawaran untuk melanjutkan pendidikan, namun beliau lebih menyenangi menjadi guru di Ismailiyah hingga 19 tahun beliau berkhidmat mengajar disana.
Di tempat yang sama, yaitu kota Ismailiyah beliau menikah dengan putri salah seorang tokoh Ismailiyah Al Haj Husain As Shuly pada malam 27 Ramadhan 1351 H.  Dengan dikaruniai 5 ornag anak, 4 orang anak perempuan yaitu Wala’, Sinai, Raja dan Hajar.  Adapun anak lelaki beliau adalah Ahmad Syaiful Islam.  Imam Syahid sangat memberikan perhatian yang besar pada pendidikan keluarganya dengan adab dan akhlaq Islam.  Hasil perhatiannya terhadap keluarga dapat kita lihat pada anak beliau yang sangat dihormati Ahmad Syaiful Islam.
B.   Permulaan Dakwah
1.  Hal-hal yang mendasari berdirinya dakwah.
Perpindahan Al Banna dari tempat kelahirannya Mahmudiyah ke Damanhur kemudian ke Kairo membuatnya banyak mengetahui permasalahan situasi dan kondisi umat Islam.
Dimasa beliau tinggal di Mahmudiyah, daerah yang tenang dan menjaga tradisi Islam dan ajarannya, belum terlintas di benaknya bahwa di ibukota Kairo, banyak penyimpangan dan kerusakan yang sudah sangat parah.  Belum pernah tergambarkan olehnya bahwa para penulis terkemuka, ulama dan para pakar bekerja demi kepentingan musuh Islam.
Tetapi ketika beliau berada di Kairo semua itu dilihatnya, kemudian beliau banyak berfikir untuk menghadapinya segala sesuatu sudah berubah seakan-akan manusia sudah jalan dengan kepala dan berfikir dengan dengkul.  Ulama sibuk dengan urusan pribadi, masyarakat umum dalam keadaan bodoh, peristiwa demi peristiwa datang bertubi-tubi seakan-akan hujan yang deras, atau badai yang kencang, segala sesuatunya sudah berubah.
Surat kabar, majalah dan sarana informasi lainnya memuat dan menyebarkan pemikiran sesat, pornografi dan macam-macam kemungkaran di mimbar politik, masing-masing partai hanya mementingkan golongannya dan cenderung menjadi ajang permusuhan, perpecahan ummat.
Masyarakat sudah meninggalkan dan menjauhi nilai-nilai luhur, sudah asing dengan nilai-nilai Islam.  Begitupun di Perguruan Tinggi sudah banyak berubah, yang tadinya disiapkan untuk menjadi lampu penerang, pusat kebangkitan dan mimbar peradaban dan kebudayaan menjadi sumber malapetaka, pusat kerusakan dan alat penghancur sehingga banyak orang memahami bahwa Perguruan Tinggi dan Universitas adalah tempat revolusi terhadap akhlaq, menentang agama dan memusuhi tradisi yang baik.
Turki yang tadinya menjadi pusat Khilafah Islamiyah pada tahun 1924 M sudah berubah menjadi negara sekuler, negeri Mesir dan negeri-negeri Islam lain dalam keadaan terjajah dan perekonomian ummat Islam dikuasai oleh orang-orang asing kaum penjajah.
Semua itu disaksikan oleh Al-Banna, bahwa kondisi dan situasi semakin memburuk sehingga menyusahkannya dan ia menjadi gelisah.  Sampai beliau tidak dapat tidur selama 15 hari di bulan Ramadhan, akan tetapi ia tidak putus asa, tidak menyerah bahkan menambahnya semangat dan bertekad untuk berbuat sesuatu yang positip bahwa yang bisa mengembalikan Khilafah Islamiyah, mengusir penjajah dan mengangkat martabat hanyalah kesungguhan, cita-cita yang tinggi, kerja yang tak mengenal lelah dan harokah yang berkesinambungan.
Banna mulai melakukan aktifitasnya dengan menghubungi para pemimpin, tokoh masyarakat dan para ulama mengajak mereka untuk membendung arus kerusakan itu.  Beliau menghubungi Syeik Ad Dajawi salah seorang ulama Mesir terkemuka dan beliau menjelaskan permasalahan kepada Syeikh tersebut, tapi Syeikh hanya memperlihatkan keprihatinannya saja, tidak ada sesuatu yang diharapkan oleh Al Banna darinya, dengan alasan bahwa Mesir sedang dijajah Inggris yang memiliki kekuatan dan persenjataan yang dapat menghadapi gerakan apapun yang menentang dan merugikannya.  Al Banna tidak ridho dan tidak puas dengan jawaban Ad Dajawi itu dan membuatnya lemah semangat.  Kemudian Syeikh Ad Dajawi mengajaknya berziarah ke rumah Syeikh Muhammad Saad yang merupakan juga salah satu ulama terkemuka, disana banyak yang hadir selain Syeikh Ad Dajawi, Syeikh Muhammad Saad dan Al Banna.  Al Banna menjelaskan lagi permasalahan ummat namun Syeikh Ad Dajawi memintanya untuk berfikir, tapi Al Banna seorang pemuda yang memiliki semangat yang tinggi berpendapat waktu itu bukan saatnya untuk berfikir tapi untuk berbuat.
Syeikh Muhammad Saad pada waktu itu menjamu para tamunya kue-kue khas dibuat untuk bulan Ramadhan (halawiyat).  Para tamu asyik menikmati makan dan minuman yang disuguhkan, pemandangan ini membuat Al Banna semakin bersedih dan prihatin.  Beliau memahami bahwa mereka dalam keadaan lalai dari kondisi Islam, maka ia berusaha menyadarkan mereka seraya berkata : “Wahai tuan Syeikh !  Islam sedang diperangi dengan dahsyat, sementara para tokoh, pelindung dan para pemimpin ummat sedang menghabiskan waktunya dengan keni’matan seperti ini, apakah kalian mengira bahwa Allah tidak akan menghisab apa yang kalian sedang lakukan ?  Jika kalian tahu disana ada pemimpin Islam dan pelindungnya selain kalian, tunjukilah saya kepada mereka agar saya mendatangi mereka, mudah-mudahan saya dapati apa yang tidak ada pada kalian”.
Perkataan Al Banna menyentuh hati Syeikh Muhammad Saad, sehingga ia menangis membuat yang lainpun menangis.  Lalu Syeikh bertanya : “Apa yang mesti saya lakukan wahai Hasan …?  Al Banna mengusulkan agar Syeikh mengumpulkan nama-nama para ulama dan zuama serta para pemuka, lalu mereka diundang untuk suatu pertemuan dalam rangka memikirkan dan memusyawarahkan apa-apa saja yang harus mereka lakukan.  Sekalipun hanya menerbitkan majalah mingguan untuk mengimbangi majalah-majalah yang ada atau membentuk perkumpulan yang dapat menampung para pemuda.  Syeikh setuju atas pemikiran Al Banna itu dan ia mencatat sebagian nama ulama terkemuka seperti :
1.      Syeikh Yusuf Ad Dajawi
2.      Syeikh Muhammad Khudlori Husain
3.      Syeikh Abdul Aziz Jawis
4.      Syeikh Abdul Wahab Najjar
5.      Syeikh Muhammad Khudlori
6.      Syeikh Muhammad Ahmad Ibrahim
7.      Syeikh Abdul Aziz Khuli
8.      Syeikh Muhammad Rasyid Ridho
Dan mencatat sebagian nama-nama tokoh terkemuka, seperti :
1.      Ahmad Taimur Pasya
2.      Nasim Pasya
3.      Abu Bakar Yahya Pasya
4.      Abdul Aziz Muhammad Pasya
5.      Mutawalli Ghonim Bik
6.      Abdul Hamid Said Bik
Mereka semua diundang untuk suatu pertemuan dan terlaksanalah pertemuan demi pertemuan, sehingga dapat menerbitkan majalah “AL FATH”.  Dipimpin oleh As Sayid Muhibuddin Khattib dengan pimpinan redaksinya Syeikh Abdul Baki Surur, perkumpulan dan kegiatan ini terus berlangsung sampai Hasan Al Banna lulus kuliah dari Darul Ulum dan terus menggerakkan beberapa orang pemuda sehingga terbentuklah Jam’iyyah Syubanul Muslimin.
Hasan Al Banna berhasil mengumpulkan beberapa ulama dan tokoh masyarakat terkemuka, dan terbentuklah Jamaah Islamiyah yang menyeru untuk menghadapi arus gelombang kehidupan materialis, membatasi kegiatan maksiat dan kekufuran.  Akan tetapi Hasan Al Banna melihat aktifitas jamaah itu tidak cukup, dimana kegiatannya terbatas pada menyampaikan ceramah atau nasehat di masjid-masjid dan menulis artikel di majalah-majalah, akan tetapi siapa yang menyampaikan dakwah kepada orang-orang yang tidak ke masjid yang sebenarnya mereka lebih berhak dari pada orang-orang yang aktif ke masjid.  Siapa yang menyampaikan dakwah kepada orang-orang yang tidak membaca koran dan majalah.  Dengan demikian harus adanya kader yang siap berdakwah ke berbagai lapisan masyarakat.
Al Banna melihat bahwa yang dapat melaksanakan tugas berat itu adalah para mahasiswa Al Azhar dan Darul Ulum.  Al Banna berhasil mengumpulkan beberapa orang rekannya untuk berlatih berpidato, khotbah di masjid, berdakwah di warung-warung kopi dan tempat-tempat umum, kemudian pergi ke kampung-kampung.  Diantara mereka yg terlibat dalam aktivitas ini :
1.      Syeikh Muhammad Madkur
2.      Syeikh Hamid Askari
3.      Syeikh Ahmad Abdul Hamid
Setelah mereka berlatih dan siap terjun ke lapangan, Al Banna mengajak rekan-rekannya untuk berdakwah ke warung-warung kopi dengan memperhatikan  3 hal :
1.      Memilih tema yang sesuai
2.      Sistem penyajian yang menarik
3.      Memperhatikan waktu, jangan sampai membosankan
Pergilah mereka ke warung-warung kopi dan cukup berhasil.
2.  Peristiwa berdirinya Jamaah Ikhwanul Muslimin.
Pada bulan September tahun 1927 M, Hasan Al Banna diangkat menjadi guru SD di Kota Isma’iliyah, disanalah beliau memulai dakwahnya, di warung-warung kopi kemudian pindah ke masjid.  Dakwah yang dilakukannya di warung-warung kopi ini bukan pengalaman yang pertama baginya, tapi beliau sudah terbiasa dakwah di tempat-tempat seperti ini, ketika beliau masih mahasiswa di Darul Ulum, Kairo.
Dakwah Hasan Al Banna mendapat sambutan dari para pengunjung warung-warung kopi, sehingga sebagian diantara mereka bertanya kepadanya tentang apa yang harus dilakukan demi agama dan tanah air.
Setelah beberapa lama berdakwah di warung-warung kopi kemudian Hasan Al Banna pindah dari warung kopi ke mushalla (Zawiyah).  Di Zawiyah inilah beliau berbicara dan mengajarkan praktek ibadah, dan meminta kepada mereka agar meninggalkan kebiasaan hidup mewah.  Para pendengarnya menyambutnya dengan baik.
Dengan kecerdasannya, Hasan Al Banna menetapkan unsur-unsur yang mempunyai pengaruh terhadap masyarakat, yaitu pada 4 unsur :
1.      Ulama
2.      Masyaikh furuq sufiah
3.      Para tokoh masyarakat (wujaha)
4.      Klub-klub (nadi-nadi)
Maka Imam Syahid Hasan Al Banna membuat perencanaan dan berinteraksi dengan 4 unsur diatas :

Kepada Ulama

Hasan Al Banna mampu mengambil simpati ulama dengan menjalin hubungan persahabatan, menghormati dan menghargai mereka dan kadang-kadang memberikan hadiah kepada mereka, maka dengan cara ini mereka (pada ulama) menghormatinya tidak menghalanginya berdakwah di Isma’iliyah, inilah sebenarnya tujuan beliau untuk para ulama, agar mereka membiarkannya berdakwah Illallah dan tidak menyerangnya, karena Hasan Al Banna bukan ulama Al Azhar.

Masyaikh Turuq Sufiah

Al Banna berbicara kepada mereka dengan bahasa mereka, berinteraksi dengan mereka dengan etika yang berlaku di kalangan mereka, dengan demikian mereka tidak menghalanginya berdakwah dan tidak menyerangnya.  Bahkan mereka membiarkan Al Banna berdakwah, kendatipun mereka tidak bergabung dengannya atau tidak mendukungnya.

Para Tokoh Masyarakat

Al Banna menghormati mereka sesuai dengan posisi mereka di masyarakat dan mengadakan pendekatan dengan mereka dengan bahasa yang baik dan amal-amal kebaikan, dengan cara ini mereka mencintai dan menghargainya, diantara yang dilakukan oleh Al Banna menghilangkan sebab-sebab perselisihan dan permusuhan diantara mereka, dalam hal ini Al Banna berhasil dan mendapat penghargaan dari mereka.

Klub-Klub Pertemuan

Al Banna sering mendatangi klub-klub (tempat-tempat pertemuan) dan disana beliau menyampaikan pengajian, muhadhoroh nadwah (menjalin hubungan persaudaraan dengan orang banyak) dan berhasil merekrut jumlah yang tidak sedikit untuk mengikuti pengajian beliau di Zawiyah.
Demikian Al Banna pada permulaan dakwahnya di Isma’iliyah berhasil menarik simpati dan mengambil hati masyarakat.  Kemudian dikumpulkan lalu diarahkan sehingga mereka memiliki ghiroh terhadap agama mereka dan cinta akan amal islami.  Cara-cara diatas dilakukan oleh Al Banna kurang lebih selama 1 tahun.
Pada bulan Dzul Qo’dah tahun 1347 H atau bulan Maret 1928 M, datang 6 orang diantara yang tertarik dengan dakwah Al Banna mereka adalah :
1.      Hafiz Abdul Hamid, bekerja sebagai tukang bangunan
2.      Ahmad Al Hushor, bekerja sebagai tukang cukur
3.      Fuad Ibrahim, bekerja sebagai tukang gosok pakaian
4.      Ismail Izz, bekerja sebagai penjaga kebun
5.      Zaki Al Maghribi, bekerja sebagai tukang menyewakan sepeda dan bengkel sepeda
6.      Abdurrahman Hasbullah, bekerja sebagai supir
Mereka berbicara kepada Imam Syahid tentang apa yang harus mereka lakukan demi agama dan mereka menawarkan sebagian harta milik mereka yang sedikit.  Lalu mereka meminta kepada Al Banna untuk menjadi pimpinan mereka, kemudian permintaan ini diterimanya.
Lalu mereka berbaiat kepadanya untuk bekerja demi Islam dan mereka bermusyawarah tentang nama perkumpulan mereka.  Imam Al Banna berkata : “Kita ikhwah dalam berkhidmat untuk Islam, dengan demikian kita Al Ikhwanul Muslimin”.
Kemudian mereka menjadikan kamar di suatu rumah sewaan yang sangat sederhana sebagai “Kantor Jamaah” dengan mengambil nama Madrosah At Tahzab.  Disanalah Imam Syahid mulai meletakkan/ mengambil manhaj tarbawi bersama pengikut-pengikutnya, manhaj tarbawi pada waktu itu adalah :
1.      Al-Qur’anul Karim  (tilawah dan hafalan).
2.      As Sunnah An Nabawiyah  (menghafal sejumlah hadits).
3.      Pelatihan khutbah.
4.      Pelatihan mengajar untuk umum.
Setelah beberapa bulan jumlah pengikut jamaah menjadi 76 orang, kemudian terus bertambah.  Dan mereka mendermakan harta mereka untuk dakwah sampai dapat membeli sebidang tanah untuk dibangun diatasnya markas jamaah (Darul Ikhwanul Muslimin) terdiri dari masjid, 1 sekolah untuk putra, 1 sekolah untuk putri, nadi (tempat pertemuan) ikhwan.
3.  Pertumbuhan pesat dakwah ikhwan sejak awal.
Pada bulan Oktober tahun 1932 M, Imam Hasan Al-Banna dimutasi kerjanya ke Kairo sebagai guru di Madrasah Abbas I, Distrik Sabtiah, perpindahan kerja ini menjadi peluang bagi Imam Syahid untuk membawa dakwah ke Kairo ibukota Mesir, mengingat Kairo pusat kebijakan politik, dan mendapatkan kesempatan berdakwah di depan jutaan penduduk Kairo.
Di Kairo Imam Al Banna dan ikhwan memilih rumah di jalan Nafi No.24 sebagai Markaz Amm, dan Imam Syahid bertempat di lantai atas selama 7 tahun dakwah di Kairo dari tahun 1932 sampai 1939 M.  Markaz Amm mengalami beberapa kali pindah :
1.      Di jalan Nafi No.24
2.      Di rumah di Suqus Silah
3.      Di jalan Syamasyiji No.5
4.      Di jalan Nashiriyah No.13
5.      Di jalan Medan Atobah No.5 di perumahan wakaf
6.      Di jalan Ahmad Bik Umar di Hilmiyah
Di Kairo disamping banyaknya partai politik yang bersaing untuk menjadi partai yang berkuasa, didapati pula banyak organisasi Islam dan non Islam.
Di tengah-tengah kehidupan Kairo, dakwah ikhwan terus meluncur membuktikan keberadaannya, efektifitasnya dan menarik banyak pengikut dan pendukungnya serta membuka syu’bah-syu’bah baru.
Dakwah di Kairo belum sampai satu tahun Imam Syahid telah mampu menyebarkan dakwah di seluruh kota Kairo dan telah membuka syu’bah-syu’bah baru lebih dari 50 kabupaten, dimana Imam Syahid mendatangi perkampungan negeri Mesir untuk berdakwah tidak mengenal letih, apalagi malas, hal itu dilakukannya disaat-saat musim liburan sekolah.

Sekilas pintas pribadi Mursyid

1. Profesi dan pekerjaannya.
Beliau sebagai guru SD (Ibtidaiyah), beliau seorang guru yang disiplin melaksanakan tugasnya dengan optimal dan maksimal, beliau belum pernah terlambat datang ke sekolah (tempat kerja), beliau merasakan ni’mat dan kebahagiaan dalam bekerja karena beliau meyakini bahwa Allah telah menciptakannya menjadi pendidik.
Beliau disenangi dan dihormati oleh murid-murid, para guru, kepala sekolah dan karyawan.  Dan mereka mencintai dakwah Al Banna, karena mereka mencintai pribadinya.  Mereka berkeinginan membantunya, agar mempunyai banyak waktu untuk mengemban tugas dakwah, akan tetapi beliau bersikeras melaksanakan tugasnya dengan sempurna tanpa membebani orang lain.
Bila ada ikhwan yang menelponnya ketika dia sedang mengajar di kelas, kemudian petugas memberitahukannya ada orang yang menelponnya, lalu ia berpesan kepada petugas tersebut : “Katakan kepadanya/mereka, dia sedang mengajar tidak dapat meninggalkan kelas sebelum selesai jam pelajarannya”.
2. Tugas Rumah.
Hasan Al Banna melaksanakan tugasnya di rumah sebagai kepala keluarga, suami, ayah dengan sempurna, tidak pernah terjadi kles dalam rumahnya, memberikan perhatian yang penuh kepada anak-anaknya.  Beliau membantu pekerjaan istrinya di rumah sekalipun dengan kesibukan dakwahnya.  Beliau mengetahui kebutuhan rumah, beliau tiap hari mencatat kebutuhan rumah tangga, sehingga beliau mengetahui kapan disimpan barang seperti bawang, minyak dan lain-lain.
3. Aktifitas Dakwah.
Dakwah bagi Hasan Al Banna menjadi alasan hidupnya, dan semua kehidupannya dakwah, siang dan malam kesibukannya adalah dakwah, dakwah memenuhi hati pikirannya, sehingga dakwah terlihat jelas pada pribadinya, bila berbicara, berbicara dengan dakwah dan untuk dakwah.  Dan bila diam, diamnya dakwah, bila bergerak demi dakwah, cinta dan bencinya karena dakwah dan bila tertawa atau menangis karena dakwah.
Hasan Al Banna tidak hidup untuk dirinya sendiri, tidak menyimpan uang, tenaga waktu dan kesehatannya kecuali untuk dakwah, semua gajinya dijadikan untuk dakwah, tidak dikurangi kecuali untuk kepentingan keluarga yang pokok, beliau mengambil standar minimal/terendah untuk hidupnya.  Hasan Al Banna menjadikan hidupnya untuk dakwah, ucapan, diam, gerak, bangun, tidur, suka, benci, tulisan, bacaan, pikirannya semua untuk Islam.
C.  Ranjau-Ranjau Sepanjang Perjalanan Dakwah Imam Hasan Al-Banna.
Ketika kedua aktifis thontho Muhammad Abdussalam dan Jamaluddin Fakih dituduh oleh rezim sebagai pelopor gerakan subversib dan ini adalah awal mihnah yang menimpa jamaah maka Imam Asyahid segera mengadakan lobi dengan lembaga bantuan hukum untuk mengadakan pembelaan secara maksimal dan mengerahkan seluruh ikhwan agar memiliki perhatian serta mengikuti persidangan-persidangan yang berlangsung bahkan beliau sendiripun selalu mengikuti persidangan-persidangan yang berlangsung dan sekaligus membantah tuduhan yang ditujukan kepada dua aktifis maupun kepada jamaah dengan lewat mass media internal maupun external.
Dengan upaya yang maksimal dan dukungan seluruh fihak akhirnya kedua aktifis dinyatakan bersih dari tuduhan.  Keprihatinan Hasan Al Banna terhadap peristiwa itu terungkap “Sesungguhnya masalah ini membikin aku gelisah untuk tidur, karena aku tahu bahwa hal ini benar-benar telah dipersiapkan secara matang, mereka memiliki dan menguasai seluruh perangkatnya, mulai dari birokrasi, hakim, hingga saksi-saksi palsu dan apabila mereka berhasil meringkus kedua aktifis kita kedalam penjara dengan tuduhan subversif, maka dakwah al ikhwan akan punah dimata masyarakat”.
Memang Hasan Al Banna mengajarkan kepada al ikhwan untuk menjadi generasi yang pemberani dalam kebenaran, menganggap para penjajah adalah musuh dan bentuk perbudakan yang paling buruk sepanjang sejarah manusia, mereka begitu semangat dan berebut untuk mendapatkan izin menuju Palestina untuk meraih syahadah ketika DK PBB pada tahun 1948 secara resmi memutuskan tanah Palestina menjadi dua, Imam sendiri dalam pidatonya dimuka khalayak ramai di hotel intercontinental mengatakan : “Pembagian Palestina menjadi dua adalah tanda bahwa dunia telah tidak waras”.  Hal serupa juga pernah disampaikan kepada pemerintah Inggris lewat perwakilannya di Kairo tahun 1939 M, bahwa ummat Islam akan mempertahankan Palestina hingga titik darah terakhir.  Beliau juga seorang yang lembut hati, hidupnya hanya untuk perhatian dakwah dan para ikhwannya, ketika seorang akhwat menderita sakit …, beliau sendiri menghubungi dokter dan ketika sang dokter sedang menulis resep obat lalu beliau mencolek kepada Mahmud Abdul Halim untuk meminjam uang untuk menebus obat karena tak sepeser junaihpun ada ditangannya.
Perlawanan para ikhwan menghadapi penjajah Inggris atas intervensinya terhadap kota Isma’iliyah awal perang dunia kedua 1939 M merupakan sampel keberanian mereka.  Melihat keberhasilan Hasan Al Banna dengan jamaahnya yang cukup gemilang, dimana pada waktu yang relatif singkat fikroh ikhwan telah mampu mempengaruhi dan mewarnai di berbagai bidang ekonomi, sosial politik dan keagamaan, khususnya sikap masyarakat luas terhadap Palestina dan penjajah, maka Inggrispun sangat gerah terhadap Hasan Al Banna dan sangat berkepentingan untuk membunuhnya dan membubarkan jamaahnya.
Untuk merealisasikan mimpin Inggris itu pada tanggal 10 Nopember 1948 M tiga segitiga setan mengadakan pertemuan secara rahasia, mereka adalah Inggris, Amerika dan Perancis di Paid, memutuskan agar ikhwanul muslimin segera dibubarkan.  Sebulan kemudian tepat pada tanggal 8 Desember 1948 datang SK militer yang berisikan pembubaran terhadap jamaah.
Rupanya pembubaran jamaah tidak berdampak terhadap aktifitas dan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat, justru pembelaan dari masyarakat luas semakin kentara dari hari ke hari, kewibawaan dan kemampuan Hasan Al Banna merekrut masyarakat luas sangat diakui lawannya, kemampuan membangkitkan semangat ummat, membuka hati yang tertutup, menghimpun kekuatan arus bawah sangat ditakuti lawan.  Maka tidak ada lagi pilihan lain, kecuali harus merencanakan sebuah makar yang lebih besar yang belum pernah terpikir di benak mereka yaitu dengan membunuh pendirinya.
Sejak itu rezim Faruq benar-benar memperhitungkan langkah untuk menguasai Hasan Al Banna :
1.      Dengan memenjarakan seluruh anggota al ikhwan dan membiarkan Hasan Al Banna seorang diri agar masyarakat luas menganggap bahwa rezim masih memiliki rasa tolerir terhadap beliau, padahal itu sebuah siksaan batin, setiap harinya hanya tangisan ribuan anak kecil dan rintihan ibu-ibu fororo’ yang didengarnya, menengok kanan dan kiri tidak ada yang peduli seakan-akan seluruh rakyat telah diintimidasi oleh rezim, takut untuk melakukan sebuah kebaikan, siapa sedekah mati, siapa menolong orang yang kelaparan dia anggap pemberontak, beliau hanya mampu mengumpulkan sebesar 150 junaih Mesir (+ $.140) setelah upaya sana sini dan itupun hasil hutang dari salah seorang teman.  Sungguhpun perasaan-perasaan buruk dan mencekam yang melanda masyarakat lebih dari yang terungkapkan.
2.      Setelah perasaan yang mencekam benar-benar menyelimuti seluruh rakyat Mesir, polisi intel segera memenjarakan adik kandung Hasan Al Banna, Abdul Basith yang dia adalah seorang polisi padahal yang satu ini bukan seorang al ikhwan,  hal itu untuk mempermudah penangkapan terhadap beliau kapan mereka menginginkannya, sebenarnya perasaan ini juga ada dalam sanubari kecil beliau, namun justru keberanian dan perasaan tidak takut mati semakin lebih nampak apalagi setelah di suatu malam beliau bertemu dengan Sayyidina Umar di dalam sebuah mimpinya mengatakan wahai Hasan, kau akan dibunuh kemudian terbangun lalu tidur kembali sehingga terulang mimpi itu lalu bangun sholat hingga subuh, sungguhpun mati adalah batas uang tidak dapat ditawar.  Dan ketika Imam Asyahid mengajukan untuk tinggal di luar kota Kairo bersama saudaranyapun tidak diizinkan, hal itu semakin memperjelas makar yang dirancang oleh rezim untuk meringkusnya secara perlahan.
3.      Setelah seluruh persenjataan ikhwan, dan kekayaannya termasuk pistol dan mobil pribadi beliau yang statusnya pinjaman itu disita oleh penguasa yang serakah, maka tinggal episode yang terakhir.  Maka berhasillah mereka merekayasa sebuah pertemuan antara Asyahid dengan Mohammad An Naqhi (salah satu pengurus Dar Asy-Syubban) pada hari Jum’at tanggal 11 Desember 1949 M pukul 17.00.  Namun hingga pukul 20.00 masalah yang diagendakan belum ada kejelasan yaitu salah seorang menteri yang diharapkan dapat membantu menyelesaikan masalah ikhwan, lalu pulanglah beliau dengan mertuanya ustadz Mansur SH dengan komitmen akan datang kembali esok harinya, namun tiba-tiba beliau dapati suasana yang sungguh lain, di jalan protokol “Quin Ramses” yang biasanya ramai dengan hiruk pikuk lalu lintas lalu lalang manusia saat itu tak sebuah mobil dan seorangpun yang lewat kecuali sebuah taxi yang menongkrong di depan gerbang pintu Dar Asy Syubban, toko-toko dan rumah-rumah makan yang berdekatan juga sudah tutup, kecurigaan semakin tinggi ketika baru akan melangkahkan kaki menuju jalan raya tiba-tiba seluruh lampu penerang jalan mati, saat itulah peluru api meluncur sebagian mengenai Asy Syahid dan peluru yang lain mengenai ustadz Mansur, namun beliau masih kuat untuk naik sendiri menuju gedung Dar Asy Syubban memutar telepon untuk meminta pertolongan kepada ambulance, sungguhpun demikian Asy Syahid terdampar dalam rumah sakit “Qosr Aini” tak seorangpun dari perawat atau dokter yang berani menolongnya sekalipun banyak dokter muslim yang ingin merawatnya, namun kepala RS tidak mengizinkan atas perintah kerajaan.  Dering telepon tak henti-hentinya untuk meyakinkan kematian Asy Syahid hingga Asy Syahid menemui robbul izzah dengan kepahlawanannya.
Tepat hari Sabtu malam Minggu tanggal 12 Desember 1949 beliau pulang ke Rahmatullah.  Terselimutilah di hari itu langit dunia dengan kesedihan yang mendalam karena kematiannya berarti hilangnya seorang pembela kebenaran penegak keadilan di tengah-tengah kelaliman dan ummat Islam tertidur nyenyak.  Ditengah-tengah puncak kebahagiaan Raja Faruq dalam merayakan hari ulang tahunnya kepala polisi intel memberikan hadiah berupa kepala Imam Asy Syahid untuk menambahkan kecongkakannya diatas muka bumi dan kemurkaan Allah terhadapnya.  Pagi harinya hari Minggu tanggal 12 Desember 1949 sampailah berita kematian kepada orang tuanya Ahmad Al Banna.  Kehidupan beliau tergambar dalam syairnya :
Yang lebih menyedihkan rezimpun tidak mengizinkan ummat Islam untuk merawat jenazahnya dan berta’ziyah ke rumah shohibul musibah.  Untuk menunjukkan keangkuhan serta kedengkiannya terhadap Asy Syahid dan dakwah mereka susun penjagaan militer secara ketat yang siap untuk bertempur dan tank-tank yang seakan-akan menghadapi sebuah pertempuran yang dahsyat, padahal sebuah upacara kematian yang terdiri dari beberapa gelintir insan yang tak berdaya.  Tidak seorangpun diizinkan membawa jenazahnya menuju makam Imam Syahid kecuali orang tua Imam Asy Syahid beserta seorang dan kedua saudari perempuannya.
Jamaah yang telah didirikan diatas darah Asy Syahid dan di ukir dengan darah para syuhada akankah menjadi sesuatu yang sangat ditunggu oleh ummat seluruh dunia sebagai pahlawan penegak kebenaran pendobrak kebatilan dan pembawa bendera khilafah ?  Jawabannya tentu tergantung kepada kualitas nilai dan pengorbanan para penerusnya.

KATA MEREKA

Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com

Lebih baru Lebih lama