Firman Allah ‘Azza WaJalla:
“...Sesungguhnya kehidupan dunia Ini hanyalah kesenangan (sementara) dan Sesungguhnya akhirat Itulah negeri yang kekal.” (QS. Al-Mukmin: 39).
Sabda Rasulullah SAW:
“Apalah   dunia bagiku! seumpama aku dan dunia adalah seumpama pejalan yang   berjalan di tengah terik, lalu berteduh di (bawah) sebatang pohon dan   kemudian meninggalkannya.” (HR. Ahmad, Turmizi, Ibnu Majah, dan Hakim;   hadits shahih).
Sabda Beliau:
“Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau seperti pengembara.” (HR. bukhari).
Dan sabda beliau juga:
“Dunia itu penjaranya orang mukmin dan sorganya orang kafir.” (HR. Muslim).
Berkata  Yahya Bin Mu’adz: “Kamu  bukan di suruh untuk meninggalkan dunia, (tapi)  kamu di suruh  meninggalkan dosa; meninggalkan dunia adalah fadhilah  (keutamaan),  meninggalkan dosa adalah fardhu, sedangkan mengerjakan yang  fardhu  lebih kamu butuhkan dari pada kebaikan dan kelebihan”
Berkata Imam Ahmad Bin Hanbal: “Zuhud di dunia adalah pendek angan-angan”
Berkata  Abdulah Bin Umar Ra:  “Sesungguhnya dunia itu adalah Sorganya orang  kafir dan penjaranya  orang beriman....seumpama orang beriman ketika  keluar darinya, seperti  seseorang yang baru keluar dari penjara,  sehingga kemudian ia bebas  berjalan dan bergerak di bumi”
Wahai   Manusia!...Sesunggguhnya panah kematian sedang membidik kamu maka   perhatikanlah ia! dan jeratan angan-angan sedang melintas di hadapanmu   maka berhati-hatilah! fitnah dunia sedang meliputimu dari segala penjuru   maka takutilah ia! Janganlah kalian merasa bahagia dengan keadaan yang   bagus, maka sesungguhnya ia sedang melangkah ke kefanaan, sedang  bersiap  menuju perjalanan, dan sedang berjalan menuju kehancuran dan   kematian”[1]
Berkata Sya’ir:
Wahai diriku! celakalah kamu...telah datang masa muda!
Bagaiamanakah masa kecil dan bagaimanakah masa muda?
Akan menjelang masa mudaku, seolah-olah ia tidak akan terjadi
Telah datang masa mudaku, seolah-olah ia tidak akan pernah lenyap
Seolah-olah diriku dalam kelengahan
Dan berkata Sang Pemberi Karunia: “Semuanya telah habis”
Berkata  Bilal Bin Sa’ad: “Wahai  Ahli At-Tuqa!...Seungguhnya kamu tidak di  ciptakan untuk lenyap, kamu  hanya berpindah dari satu tempat ke tempat  yang lain, sebagaimana kamu  berpindah dari tulang punggung ke dalam  rahim, dan dari rahim ke dunia,  dan dari dunia ke dalam kubur, dan dari  kubur ke padang mahsyar, dan  dari mahsyar ke sorga atau ke neraka”[2]
Berkata  Ibnu As-Samak: “Barang  siapa yang meneguk rasa manisnya dunia sehingga  menyukainya, maka ia  akan meneguk rasa pahitnya akhirat sehingga ia  berusaha lari  darinya”[3]
Berkata Ibnu Hazim: “Barang   siapa yang kenal dunia...maka ia tidak akan merasa bahagia dengan   kesenangannya dan tidak akan sedih dengan deritanya”
Berkata  Ibnu Mubarak: “Wahai  anak adam!...Bersiaplah untuk akhirat, Tha’atilah  Allah sesuai  kebutuhanmu kepada-Nya, dan marahlah karena Allah kadar  kesabaran kamu  terhadap neraka”
Berkata Hasan Ra: “Wahai anak adam!...sebenarnya hari-hari yang telah kamu lalui mengurangi umurmu”
Berkata Yahya Bin Mu’adz: “Miskin[4] anak adam jika ia takut neraka sebagaimana ia takut miskin maka ia akan masuk sorga”[5]
Berkata  Sufyan Ats-Tsauri:  “Takutilah kemurkaan Allah pada tiga perkara:  Takutlah jika kamu lalai  dari apa yang di perintahkan kepadamu, Takutlah  kamu jika Dia melihatmu  sedangkan kamu tidak redha dengan apa yang di  berikan kepadamu, dan  Takutlah jika kamu meminta sesuatu dari dunia  kemudian kamu tidak  mendapatkannya dan lantas kamu memurkai Tuhan-mu”
Diantara  wasiat Nabi Isa  'Alaihis Salam kepada para sahabatnya: “Siapa yang  sanggup membangun  rumah di atas ombak di pantai? Itulah dunia...maka  janganlah kalian  menganggapnya sebagai tempat yang kekal”[6]
Perkataan   sebagian para Salaf: “Berhati-hatilah terhadap dunia; maka  sesungguhnya  sihirnya lebih bahaya dari sihir Harut dan Marut,...karna  Harut dan  Marut memisahkan antara dua orang suami istri. sedangkan  dunia  memisahkan antara hamba dengan Tuhan-nya[7]
Berkata Siyar  Abu Al-Hakam:  “Bahagia dengan dunia dan sedih dengan akhirat tidak akan  pernah  berkumpul dalam hati seorang hamba, apabila salah satu dari yang  dua  tadi menempati hati, maka yang lain akan lari’[8]
Berkata  Sa’id Bin Mas’ud:  “Apabila kamu lihat seorang hamba bertambah dunianya  dan berkurang  akhiratnya  sedangkan ia dengan keadaan ini redha, sungguh  ia telah  tertipu dengan sebuah penipuan yang di mainkan di depannya  sedangkan ia  tidak menyadarinya”[9]
Berkata Sufyan Ats-Tsauri: “Ambillah dunia untuk badanmu dan ambillah akhirat untuk hatimu!”[10]
Berkata Hasan: “Demi Allah Sungguh Bani Israil menyembah berhala setelah menyembah Allah karna cinta mereka terhadap dunia[11]
Berkata  Lukman Al-Hakim kepada  anaknya: “Wahai anakku! Sesungguhnya dunia  lautan yang amat dalam dan  sungguh telah banyak manusia tenggelam di  dalamnya, maka jadikanlah  perahumu Taqwa kepada Allah, bekalnya Iman  kepada Allah Ta’ala,  syi’arnya (slogan) tawakkal kepada Allah ‘Azza  WaJalla, semoga kalian  selamat dan saya yakin kalian akan selamat”[12]
Ditanya  Hakim: “Dunia itu untuk  siapa?” dia berkata: “(Dunia itu) untuk orang  yang meninggalkannya”  dan dia ditanya lagi: “Akhirat itu untuk siapa?”  dia berkata: ‘(Akhirat  itu) untuk orang yang memintanya”[13]
Mengumpulkan  dunia dengan jalan  halal dan membelanjakan di jalan halal, dan ini  adalah ibadah dan juga  merupakan cara mendekatkan diri kepada Allah  'Azza WaJalla, namun  apabila dari yang haram walaupun di belanjakan  kepada yang halal dan  terpuji maka itu adalah seburuk-buruk bekal untuk  sampai ke-Neraka.[14]
Berkata Ali Bin Abi Thalib:  "Barang  siapa yang mengumpulkan enam perkara maka ia tidak perlu  meminta Sorga  lagi dan tidak akan memohon di jauhkan dari Neraka;  Barang siapa yang  mengenal Allah dan mentha'ati-Nya, mengenal syaithan  dan memaksiatinya,  kenal dengan kebenaran lalu mengikutinya, tahu  dengan kebathilan lalu  menjauhinya, kenal dunia lalu membuangnya, kenal  akhirat lalu  memintanya"[15]
Itulah saudara! Kita hidup  kemudian mati,  sedangkan kematian bukanlah akhir segalanya, ingatlah  bahwa setelah  dunia ada akhirat; adalah tempat manusia menerima hasil  usahanya selama  di dunia, apabila baik maka baiklah hasilnya dan  apabila buruk maka  buruk pulalah hasilnya; yaitu hari yang tidak ada  lagi kata menyesal dan  tidak ada lagi kata mengelak, berkata orang  kafir: "Ya Tuhan kembalikan aku sejenak pasti aku akan beramal shaleh!"
Cukuplah  dunia sebagia ladang  untuk akhirat, sebagai musim untuk beribadah dan  zamannya ketha'atan,  di dalamnyalah kita berbekal untuk akhirat kelak,  maka kita akan  berjalan langkah demi langkah menuju kebahagiaan  abadi.[16]   
Berkata  Fudhail Bin iyadh: "Allah  menjadikan keburukan semuanya di dalam  sebuah rumah dan menjadikan cinta  dunia sebagai kuncinya, dan Allah  menjadikan kebaikan semuanya di dalam  sebuah rumah dan menjadikan zuhud  di dunia sebagai kuncinya"[17]
Maka  dunia adalah kampung  cobaan yang takkan pernah henti, yang buruk adalah  cobaan dan yang  baikpun merupakan cobaan, apakah tidak kita lihat  betapa banyak ujian  dan derita melanda sehingga kita di tuntut sabar  menjalaninya, dan  apakah tidak kita lihat banyak kebaikan yang  menyesatkan; seorang ulama  bisa saja hancur dengan ilmunya, seorang yang  rajin bersadakah bisa  saja hancur hanya karna hartanya, dan betapa  banyak orang yang shalat  akan tetapi ia sebenarnya ia bukan shalat,  begitu juga orang yang puasa  yang ada hanyalah rasa haus dan lapar,  kepayahan dan kemuliaan  sementara yang menghasilkan cambuk neraka ribuan  tahun.
Betapa banyak orang yang kaya  bersedekah tapi  riya, orang yang shalat akan tetapi hanya sekedar  penjawab tanya dan  ingin di pandang shaleh, seorang ulama yang rajin  berdakwah akan tetapi  hanya mengharap harta dan kemuliaan di  tengah-tengah kaum, berilmu tanpa  amal dan beramal tapi tidak khasyyah  (takut kepada Allah), itulah ulama  yang buruk, ulama dunia bukan ulama  akhirat, maka jadilah ulama akhirat  yang tidak harap melainkan Allah,  yang tidak takut melainkan kepada  Allah.
Kita adalah para perantau yang  hidup mengembara di  tengah-tengah desas-desus nafas-nafas  makhluq-makhluq bernyawa, kita  selalu berlomba dengan waktu demi  tercapainya harapan masing-masing, dan  perlombaan inilah yang selalu  membutakan mata dan memekakkan telinga,  di karnakan semua perlombaan  yang ada bisa merusak kecuali satu  perlombaan yaitu perlombaan dalam  kebajikan, firman Allah:
"Maka   berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada   pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat).   Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah: 148).
Akan  tetapi, siapa saja di  rerantauan ini tidak akan selamat melainkan orang  yang bisa mengambil  nasibnya, orang yang bisa mengenal hidupnya dan  orang yang bisa  menghitung waktu dengan hitungan tangis, karna yang  telah berlalu akan  di tanya dan yang akan datang apakah mungkin akan di  lalui?   
Hidup di rantau bagai hidup di   padang yang jauh dari reramaian orang yang kita kenal, kita harus bisa   berfikir, berharap dan bekerja karna kembalinya kita ke tempat asal akan   di tanya, maka merantau bukanlah hal yang mudah akan tetapi   kelelahannya adalah tangisan dan kebahagiaannya adalah senyum di akhir   yang baik.         
Sebagaimana di sifatkan  rasulullah SAW  bahwa merantau hanyalah sejenak adanya, kita tidak akan  menetap  selama-lamanya, kita tidak akan mati di sana dan lantas akan  terhapus  dalam sejarah nama-nama manusia, maka dalam artian sederhana  walaupun  kita mati di rantauan paling tidaknya mayat kita akan di  pulangkan  kenegri asal.    
Maka begitu pula perantauan  kita  di  dunia ini, kita tidak akan selamanya hidup disini kita akan  mati dan  akan terhapus dari lembaran-lembaran daftar orang hidup, maka  ingatlah  kematian kita bukanlah akhir segalanya, kematian bukan berarti  kita akan  binasa dan tidak akan ada perjalanan selanjutnya, akan  tetapi lenyapnya  kita dari dunia ini adalah dalam artian berpindahnya  kita ke kehidupan  lain.
 ....................... 
[1] . Al-‘Aqibah, hal. 69
[2] . Siyar A’lam Nubala’, jilid 5 hal. 91
[3] . Syadzarudz dzahb, jilid 1 hal. 304
[4] . Miskin dalam bahasa arab umum diartikan “kasihan”
[5] . Ihya’ Ulum Ad-Din
[6] . Jami’ al-ulum wal hikam
[7] . Tasliyah ahlil mashaib 248
[8] . Sifatus shafwah, jilid 3 hal. 13
[9] . ihya’ 267
[10] . ihya’ 267
[11] . ihya’ 267
[12] . ihya’ 264
[13] . ihya’ 269
[14] . Ad-dunya zhillun zail, hal. 7
[15] . al-ihya' ulumiddin: 3/224
[16] . ad-dunya zillu zail
[17] . al-ihya': 4/257
 

Posting Komentar
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com