Setelah “dihabisi” oleh berbagai media, terutama Tempo, PKS ternyata masih mampu bertahan. Dalam pilkada Jawa Barat dan Sumatera Utara jago PKS yang ikut bertanding memenangi pertempuran. Presiden PKS, Anis Matta memaknai fenomena ini sebagai kemenangan di tengah badai. Fakta ini sekaligus mengubur dan mematahkan para analis politik yang mengatakan PKS akan ditinggalkan para pendukungnya. PKS akan habis. Kali ini mereka keliru. Walaupun memang, tetap banyak nada miring yang kemudian muncul, kali ini malah dilontarkan justru oleh beberapa elemen (organ lain) di tubuh umat Islam sendiri. Dikatakan bahwa kemenangan PKS di beberapa pilgub tersebut bukan sebuah kemenangan dakwah, benarkah?
Bagi saya sebenci apapun kita pada partai, termasuk partai Islam, tetap saja bangunan institusi itu masih diperlukan dalam kancah politik dan kenegaraan. Partai tersebut, apapun keadaanya, dalam panggung sejarah tetap merupakan hasil karya para tokoh-tokoh muslim, kita mesti menghargainya. Itu sebabnya, setelah saya pikir lebih dalam, setelah saya pikir lebih jernih, tanpa menafikan adanya kebobrokan yang ada dalam tubuh partai Islam, saya berada dalam posisi yang menguatkan. Memilih jalan untuk menyumbangkan pemikiran konstruktif agar bangunan partai Islam ini terus berkembang lebih baik lagi. Tentu, dalam soal ini tak hanya sebatas PKS saja. Juga termasuk PAN, PKB, PPP sebagai partai Islam dan partai berbasis umat Islam itu.
Saya sadar betul barangkali sikap saya ini terlihat naïf. Tapi, dengan resiko dan tudingan kenaifan apapun, saya masih memilih untuk tetap menguatkan. Nah, terkait dengan fenomena kemenangan PKS di beberapa pilkada ini, saya kira ada beberapa tafsir dan penjelasannya. Kira-kira, saya mengartikannya sebagai berikut:
Pertama, soliditas kader yang memukau.
Bagi kader PKS, ditetapkannya Luthfi Hasan Ishaq (LHI) mantan Presiden PKS itu sebagai tersangka KPK barangkali membuat syok. Ada yang tak percaya, ada yang ragu-ragu, banyak yang galau mendapati informasi demikian. Ditengah badai demikian, Anis Mata tampil mengambil alih tampuk kepemimpinan dan langsung berpidato berapi-api, disiarkan langsung oleh beberapa stasiun televisi. Dengan kualitas pidato dan gaya bicara yang berhasil membuat mata para kadernya berkaca-kaca. Tak hanya sekedar pidato, para petinggi PKS juga langsung giat turun ke berbagai daerah untuk mensolidkan barisan kader. Saya kira pada titik inilah modal dasar PKS. Kesolidan kader yang tetap terus bekerja untuk keberhasilan capaian partai, termasuk dalam soal pemenangan pilkada. Barisan kader yang bekerja sebagai tim sukses, pemantau sampai misalnya advokasi sengketa pilkada pengadilan berhasil dijalankan. Ini dalam kasus pilkada Jawa barat. Semua itu bisa dilalui berkat adanya soliditas kader yang memukau.
Kedua, Militansi menghadapi krisis komunikasi.
Ketika LHI ditetapkan sebagai tersangka, berbagai media (sekuler) dan beberapa aktivis sosial media riuh menyerang habis-habisan. Tak hanya LHI yang diserang, tapi tubuh PKS secara keseluruhan. Serangan yang membabi buta, argumen-argumen begitu kasar dan keterlaluan. Tak peduli informasi benar atau tidak semangatnya pokoknya adalah serang. Plus olok-olokan tentang “sapi” “Jenggot” dll. PKS benar-benar berada dalam krisis komunikasi yang hebat. Tapi, nalar sehat publik tetap berjalan. Saya sendiri pada awalnya biasa-biasa saja tentang PKS. Tidak terlalu punya harapan yang tinggu namun tidak juga terlalu benci. Ya, memang saya akui sedikit mencubit-cubit dan meledek ada. Nah, karena serangan yang membabi buta terhadap PKS ini, saya jadi mengerti bagaimana kualitas para pengkritik PKS, bagaimana mutu argumen dan cara pandang orang-orang itu. Hingga saya berkesimpulan bahwa dalam arus informasi dimana krisis komunikasi PKS sedang terjadi, ada ketidakadilan yang mengemuka di depan mata. Atas fakta demikian, atas ketidakadilan informasi ini, saya malah berbalik untuk mendukung dan menguatkan PKS.
Bukan berarti saya mendukung korupsi yang masih diduga itu, tapi saya memandang bahwa dalam perang informasi, PKS sedang didholimi, maka, saya memilih untuk menguatkan. Terkait dengan kasus ini, saya juga melihat bagaimana kader-kader PKS bertahan dan punya militansi luar biasa untuk melakukan counter serangan terhadap partainya. Melalui Twitter, Facebook dan media-media online partisan yang dimilikinya, kader PKS bahu membahu mengembalikan citra partainya. Kemampuan dan ketenangan serta militansi dalam menghadapi krisis komunikasi ini saya kira juga menjadi elemen penting, modal penting PKS bagi sebuah kemenangan kemudian.
Ketiga, kemampuan mematahkan mitos.
PKS akan habis, PKS akan hancur. Barangkali banyak pengamat mengatakan demikian setelah kasus LHI. Hanya saja, bagi PKS rasa-rasanya saya melihatnya dianggap sebagai mitos saja. PKS tidak percaya demikian. Dan sikap ini saya kira sudah benar. SIkap optimis saja barangkali masih perlu bukti PKS akan tetap bertahan, bagaimana kalau para petinggi dan kader-kader PKS pesimis, maka benar-benar habislah sudah. Kalau sikap ini yang ada, tentu hanya membuktikan bahwa mitos tersebut pada akhirnya benar adanya. Tapi PKS mencoba tidak percaya mitos itu. Semua ini tentu tak lepas dari para petinggi yang menguatkan. Misalnya di berbagai media, Hidayat Nurwahid (HNW) begitu kerap meyakinkan kader-kadernya untuk tetap bisa dan bisa melalui jalan terjal yang disebutnya ujian dakwah ini. Begitulah, kira-kira dengan ketiga alasan diatas, akhirnya PKS berhasil memenangkan pilkada Jabar dan Sumut, apakah yang demikian bukan kemenangan dakwah? Saya kira tetap sebagai kemenangan. Dalam konteks ketatanegaran, jalur kekuasaan adalah instrument paling strategis untuk melahirkan kebijakan-kebijakan yang memihak umat Islam? Bagaimana kalau umat Islam tak punya kuasa? kita sudah tahu jawabnya, bahwa penindasan, ketidakadilan dan kesemena-menaan akan nampak di depan mata.
Itulah yang menurut saya rahasia kemenangan PKS. Hanya saja, kemenangan ini bagi saya hanyalah kemenangan awal. Semacam keberhasilan menjebol benteng. Langkah selanjutnya adalah bagaimana mengelola kekuasaan tersebut. Apakah PKS dengan kepemimpinan di daerah tersebut mampu memberikan kemanfaatan sebesar-besar untuk kemampuan umat dan rakyatnya? Inilah yang menjadi PR kemudian. Kekuasaan hanyalah alat semata. Substansi paling penting adalah kontribusi kepemimpinan bagi kemanfaatan dan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Begitulah kekuasaan menemukan bentuknya.[]
Penulis: Yons Achmad
Sumber: Wasathon.com
Posting Komentar
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com