Di antara terminologi yang sering disalahartikan adalah penggunaan istilah moderat, meskipun kandungan makna yang dimilikinya dalam konsep Islam begitu penting dan mulia. Terma wasathiyyah dalam pengertian Islam mencerminkan karakter dan jatidiri yang khusus dimiliki oleh manhaj Islam dalam pemikiran dan kehidupan; dalam pandangan, pelaksanaan dan penerapan. Di dalamnya tercermin karakter dasar paling penting yang membedakan manhaj Islam dari metodologi-metodologi yang ada pada paham-paham, aliran-aliran serta filsafat-filsafat lain. Dengan wasathiyyah ini pula terbentuk warna peradaban Islam pada setiap nilai, idealisme, kriteria, dasar-dasar, serta simbol-simbol, sehingga dapat dikatakan bahwa sikap moderat Islam bagi manhaj Islam dan peradabannya merupakan sudut pandangnya.
Sifat moderat Islam telah mencapai dan menduduki posisi ini dalam peradaban Muslim karena penolakannya terhadap ekstrimitas dan eksageritas kezaliman dan kebathilan. la tidak lain mencerminkan fitrah asli manusia akan kesuciannya dan sebelum tercemar pengaruh-pengaruh negatif. Fitrah ini mencerminkan fitrah (kesucian) Allah yang diberikan kepada manusia. Fitrah ini merupakan kehendak suci dari Allah agar menjadi warna bagi umat Islam, dan menjadi karakter dasar bagi agama ini, sehingga Dia berfirman:
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia.” (Al Baqarah: 143)
Wasathiyyah dalam konsep Islam adalah kebenaran di tengah dua kebathilan; keadilan di tengah dua kezaliman; tengah-tengah di antara dua ekstrimitas, yang menolak eksageritas (sikap berlebihan). Sebab berlebihan yang bertentangan dengan wasathiyyah adalah keberpihakan pada salah satu dari dua kutub yang ada dan berdiri pada salah satu di antara dua anak timbangan. Kondisi tidak seimbang seperti ini membutuhkan jalan tengah Islam yang komprehensif, seimbang, adil dan moderat.
Wasathiyyah Islam yang universal tidaklah seperti anggapan kebanyakan orang: tidak ada sikap yang jelas dan definitif menghadapi problema serta persoalan-persoalan yang kompleks. Tetapi, ia adalah sikap yang lebih sulit yang tidak hanya berpihak pada salah satu kutub yang mudah. Sikap wasathiyyah bebas dari makna-makna “pasaran” tentang isyarat dan kandungan terminologinya yang beredar di kalangan awam. Di samping itu wasathiyyah juga berbeda dengan kemoderatan Aristoteles, sebagaimana yang dipahami oleh para pengkaji filsafat Barat, sebab moderat yang dipahami oleh Aristoteles (384-322 SM) adalah bahwa keutamaan adalah tengah-tengah antara dua keburukan yang lebih mirip –kemoderatannya itu– dengan titik matematis yang tetap dan terpisah yang dipisahkan dari dua kutub –yakni keburukan– oleh jarak yang sama. Ia adalah sebuah titik matematis, sikap diam, dan sesuatu yang lain yang tidak ada hubungannya dengan kedua kutub yang ditengahinya. Tidak demikian halnya dengan kemoderatan Islam yang komprehensif sebagaimana yang ditegaskan oleh manhaj Islam.
Wasathiyyah dalam konsep Islam adalah suatu sikap ketiga dan baru. Akan tetapi menengahi antara dua hal yang berlawanan tersebut tidak berarti bahwa penengahan ini menjadi sumber keterkaitan dengan karakter-karakter kedua kutub yang berhadapan serta unsur-unsur pokoknya, melainkan menentang keduanya, akan tetapi tidak dalam segala hal. Perselisihan terhadap keduanya itu terbatas pada penolakan terhadap keterbatasan dan ketertutupan pada karakter-karakter masing-masing kutub itu sendiri, bukan lainnya; terbatas pada penolakannya memandang dengan sebelah mata sehingga hanya memandang satu kutub saja; terbatas pada penolakannya terhadap keberpihakan secara ekstrim. Oleh sebab itu, wasathiyyah Islam adalah sikap ketiga dan baru, keistimewaannya tercermin pada kemampuannya merangkul dan mengkombinasikan unsur-unsur yang dapat dirangkul dan dikombinasikan sebagai satu keharmonisan yang tidak saling memusuhi pada kedua kutub yang berlawanan. Dengan demikian, ini merupakan wasathiyyah komprehensif yang ada dalam konsep Islam, berbeda dengan filsafat yang dekemukakan oleh filosuf Yunani Aristoteles.
Keadilan dan kemoderatan adalah keadilan antara dua kezaliman yang timbangannya tidak seimbang karena adanya ketidakseimbangan kedua anak timbangannya itu, seperti halnya tidak akan ada keseimbangan jika memihak salah satu kutub dan mengabaikan satu kutub lainnya. Timbangan menjadi seimbang dan keadilan tercapai dengan kemoderatan yang memadukan aturan yang adil dari kenyataan-kenyataan, argumen-argumen serta penjelasan-penjelasan kedua kelompok yang bertikai –kedua anak timbangan– itu. Oleh sebab itu, sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah:
“Wasath adalah keadilan. Kami menjadikan kamu satu umat yang adil (pilihan).” (Imam Ahmad)
Adil di sini dan dengan makna ini lebih jauh dari sekedar moderat, bilamana yang dimaksud adalah tunduk pada kenyataan jika kenyataan itu jahat. Akan tetapi adil dalam pengertian Islam justru lawan moderat dengan pengertian ini.
Murah hati adalah akhlak dan sikap tengah (adil) yang sama sekali tidak asing dari kedua kutub yang berlawanan: kikir dan boros, tetapi ia mengkombinasikan –dari keduanya– karakter-karakter dan unsur-unsur sikap baru ini. Ia mengkombinasi-kan “pengaturan” dan “penghematan”, mengkombinasikan “pembelanjaan” dan “pemberian”. Begitu pula keberanian, merupakan tengah-tengah yang membedakan antara takut dan nekad, akan tetapi tidak sepenuhnya berbeda, melainkan berbeda dari segi penolakan terhadap keberpihakan pada satu kutub lalu mengkombinasikan dari keduanya: hati-hati dan berani agar menjadi sikap tengah-tengah yang baru. Dengan perspektif kandungan pengertian ini pada terminologi wasathiyyah, dapat dipahami teks-teks Islam yang mengisyaratkan pada karakter manhaj Islam ini:
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan harta, mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, tetapi (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (al-Furqaan: 67)
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara boros.” (al-Israa’: 26)
Perang Terminologi Islam versus Barat Muhammad ‘Imarah 170
“Dan janganlah kamu menjadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya, karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (al-Israa’: 29)
Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (al-Baqarah: 185)
Yakni moderat, yang menolak sikap berlebihan dalam memegang atau melepas, memberi atau menolak, hedonistik permissif atau kebiaraan Kristen.
Dengan perspektif kandungan pengertian kemoderatan Islam pula kita telaah hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Sesungguhnya agama ini kuat, maka masuklah kamu sekalian ke dalamnya dengan lembut.” (Imam Ahmad)
“Sesungguhnya agama Allah ‘azza wa jalla itu mudah.” (Bukhari, an-Nasai, dan Imam Ahmad)
“Sesungguhnya kamu sekalian adalah satu umat yang dikehendaki (dari kamu) kemudahan dan sesungguhnya sebaik-baik agamamu adalah yang paling mudah.” (Ahmad)
“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla, tidak mengutusku sebagai pembawa kekerasan, melainkan Dia mengutusku sebagai pengajar yang memberi kemudahan.” (Imam Muslim dan Imam Ahmad)
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak memilih dua perkara dalam urusan Islam kecuali beliau mengambil yang lebih mudah di antara keduanya, selama bukan suatu dosa. Apabila perkara itu dosa maka beliaulah orang yang paling jauh dari perkara itu.” (Bukhari, Muslim, Abu Daud, Imam Malik dan Imam Ahmad)
Dosa itulah yang ditolak dari karakter kedua kutub yang berlawanan, karena kezaliman, kebathilan, ekstrimitas dan keberpihakan bertentangan dengan keadilan, kebenaran, dan kemoderatan.
Dengan acuan kandungan wasathiyyah Islam komprehensif ini, manhaj Islam mempunyai warna khusus ketika mengantarkan umat kepada rekayasa peradaban yang moderat yang kemoderatannya ini menjadi kapal penyelamatnya dari keterbelahan dan pluralitas (dua sisi yang berlawanan) seperti yang terjadi pada peradaban-peradaban lain, tepatnya peradaban Barat.
Mengacu pada realitas ini: realitas manhaj Islam, khususnya jika kita keluar dari kerangka teoritis menuju bidang-bidang aplikasi, maka akan dilihat perbedaan yang nyata yang dikontribusikan oleh manhaj wasathiyyah Islam yang komprehensif dan cakupan yang dipengaruhinya, bilamana kita komitmen dan berjalan pada perspektif manhaj ini dalam pembahasan, pelaksanaan dan aplikasinya.
Wasathiyyah Islam pada masa kejayaan peradaban Islam –dan akan senantiasa berlaku– merupakan manhaj yang memadukan –dalam konsep Islam– antara ruh dan jasad, dunia dan akhirat, agama dan negara, subjek dan objek, individu dan masyarakat, pemikiran dan realitas, materi dan idealisme, yang riil dan yang ideal, tujuan dan cara, deskrit dan kontinum, yang lama dan yang baru, pokok dan cabang, akal dan naql, primordial dan global, kebenaran dan kekuatan, ijtihad dan taqlid, agama dan ilmu, yang umum yang khusus, dan dualisme-dualisme lainnya — jika dapat dikatakan dualisme.[1]
Posting Komentar
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com