Genosida Mesir dan Politik Bebas Aktif Indonesia

Tarqiyah : Sejarah Bangsa Indonesia, 17 Agustus 2013, telah menapaki kebebasan selama 68 tahun. Kebebasan ini tidak terlepas dari perjuangan panjang seluruh rakyat Indonesia dan dukungan dunia Internasional dalam memenangkan Indonesia dalam diplomasi melawan Belanda. Mesir adalah negara pertama yang mendukung penuh kemerdekaan Indonesia.
Inisiatif dukungan negara Mesir yang dipelopori antara lain oleh Hasan Al Banna dari barisan Ikhwanul Muslimin menjadikan Indonesia lebih bermartabat di mata dunia. Dengan kata lain, dukungan negara Mesir dan negara-negara Islam lainnya merupakan momentum menentukan dalam sejarah perjuangan Bangsa Indonesia.
Kini sejarah seakan membalik 180 derajat. Mesir diguncang prahara kudeta militer pimpinan Abdul Fattah Al Sisi terhadap kekuasaan Presiden Muhammad Mursi yang berkuasa atas kehendak rakyat setelah memenangkan pemilu yang demokratis. Dunia Barat yang dimotori Amerika Serikat, negara yang mengklaim paling demokratis, menerapkan standar ganda sehingga enggan menyatakan bahwa apa yang terjadi di Mesir adalah sebuah kudeta yang mencederai nilai-nilai demokrasi.
Dan lebih ironi lagi, Indonesia sebagai negara Muslim berdaulat terbesar di dunia, ikut pula mengekor Amerika Serikat enggan mengutuk kudeta militer di Mesir bahkan setelah korban syahid di pihak demonstran pro Mursi mencapai 6.500 orang dan luka-luka 10.000 lebih. Inikah cerminan politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif?
Benar, dulu Indonesia pernah berjaya dalam politik luar negerinya yang di kenal dengan politik luar negeri bebas dan aktif. Bebas artinya Indonesia menentukan sendiri haluan poltik luar negerinya tanpa pengaruh dan intervensi dari negara mana pun di dunia. Aktif artinya Indonesia senantiasa memprakarsai upaya-upaya mewujudkan perdamaian dunia dan keadilan sosial. Politik aktif ini tercermin dari prakarsa Indonesia pada poros negara-negara Non Blok dan politik kawasan di ASEAN. Tapi hari ini, di saat Indonesia memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke-68 kita kembali diingatkan untuk membalas jasa-jasa negara Mesir yang tanpa pamrih ikut memenangkan Indonesia dalam diplomasi Internasional. Mesir memanggil prakarsa Indonesia dan politik bebas dan aktifnya sejak semula untuk terang-terangan mengutuk kudeta militer.
Tapi, sangat disayangkan Indonesia yang dalam hal ini direfleksikan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bersikap ambigu dalam menanggapi kudeta militer di Mesir. Pernyataan yang kurang bernilai di antaranya semata-mata meminta kedua belah pihak, militer dan Ikhwanul Muslimin, menahan diri. Bahasa ini menempatkan Indonesia pada posisi berdiam diri dan tidak peduli dengan apa yang terjadi di Mesir bahkan di saat negara-negara lain sudah menarik duta besarnya dari Mesir atau meminta penjelasan dari duta besar Mesir di negaranya masing-masing. Selain itu, bahasa ini juga mengindikasikan bahwa Presiden RI kurang memahami atau tidak peduli dengan apa yang sebenarnya terjadi di Mesir.
Kudeta militer di Mesir bukanlah pertumpahan darah yang terjadi antara militer Mesir menghadapi kelompok Ikhwanul Muslimin semata, melainkan antara militer dan seluruh rakyat Mesir yang merasakan nilai-nilai demokrasi tercabik-cabik. Sungguh sempit memandang bahwa apa yang terjadi di Mesir adalah konflik antara militer dan kelompok Ikhwanul Muslimin. Sehingga melebar pada keengganan memberikan dukungan atas perjuangan rakyat Mesir melawan anarki anti demokrasi.
Genosida Mesir
Apa yang terjadi di Mesir hari ini akan tercatat dalam lembaran sejarah sebagai genosida terbesar terhadap kaum Muslimin Mesir. Dan oleh karena itu Mesir memanggil peranan Indonesia untuk bersegera menorehkan sejarahnya sebagai negara yang mempelopori upaya mengutuk dan menghentikan anarki militer yang telah membunuh ribuan demonstran penentang kudeta. Meskipun, apa mau di kata Indonesia tercatat di lembaran yang berbeda dengan Malaysia dan apalagi Turki yang telah memprakarsai sejak semula menunjukkan penentangan dan pembangkangan terhadap kudeta militer Mesir. Bahkan Turki terus menerus mengingatkan kepada pihak-pihak yang berdiam diri menyaksikan pembantaian militer terhadap para demonstran.
Indonesia akan tercatat dalam lembaran mereka yang berdiam diri menyaksikan kudeta berdarah dan anti demokrasi ini. Perhatikanlah dan renungkan pernyataan keras Perdana Menteri Turki Recep Tayyib Erdogan. “Mereka yang tinggal diam dalam menghadapi pembantaian ini adalah sama dengan orang-orang yang melakukan itu. Dewan Keamanan PBB harus bersidang dengan cepat,” kata Erdogan seperti dikutip Egypt Independent dalam konferensi pers di Ankara, Turki, Kamis (15/8).
Politik Bebas Aktif
Saatnya Indonesia bersegera bangun dari mimpinya dan berteriak lantang menentang kudeta militer Mesir. Presiden seharus bergegas bangun lebih dari sekedar membuat pernyataan keperihatinan dalam kicauannya di media sosial Twitter. Sikap meniru Amerika Serikat yang menerapkan standar ganda dan menerapkan politik “wait and see” baru kemudian mengutuk setelah negara lain ramai-ramai bersuara menentang amat tidak terpuji dan bertentangan dengan sikap politik bebas dan aktif.
Menjalankan politik luar negeri sebagai “safety player” sangat tidak disenangi kebanyakan masyarakat Indonesia. Masyarakat menginginkan politik luar negeri yang tegas sebagaimana dipelopori Bung Karno dan Bung Hatta. Masyarakat ingin melihat Presiden yang tegas bersikap dan berbuat. Menarik duta besar Indonesia di Mesir perlu dilakukan sebagai bentuk penentangan Indonesia terhadap kudeta militer yang telah menyengsarakan rakyat Mesir dan sekaligus pula berdampak pada perjuangan rakyat Palestina yang berbatasan dengan Mesir.
Di Hari Ulang Tahun (HUT) RI ke-68 ini sepantasnyalah Indonesia mengingat kembali peran negara Mesir dalam menjadikan Indonesia lebih bermartabat dalam diplomasi politik luar negerinya. Ayo Presiden SBY, Bapak Bisa!!
 Wallahu A‘lam.


KATA MEREKA

Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com

Lebih baru Lebih lama