Kisah-kisah Penghancuran Musuh Era Dahulu

KISAH ABRAHAH DAN PENYERANGAN KAKBAH
Hampir semua orang mengetahui kisah raja Abrahah, yaitu Abrahah bin Asyram. Yang datang dari Yaman dengan bala tentara, kekuatan, dan kekejamannya. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, tujuannya adalah menuju Makkah untuk menghancurkan Kakbah.
Sebelum memasuki Makkah, ia berhasil merampas heewan ternak unta sejumlah dua ratus ekor milik seorang penduduk Makkah, Abdul Muththalib. Kemudian ia bersiap siaga untuk memulai penyerangan.
Namun, sebelum itu datanglah Abdul Muththalib –kakek Rasulullah SAW– yang tak lain adalah pemimpin kota Makkah. Maksud kedatangannya adalah untuk berunding dengan Abarahahh sebelum agresi dilakukannya. Tatkala Abrahah melihat Abdul Muththalib datang menghampirinya, dengan penuh hormat ia pun menyambut dan memuliakannya. Lalu, ia meminta Abdul Muththalib mengambil tempat duduk di sampingnya, karena ia sangat menghargai dan menyeganinya.
Abarahah bertanya kepadanya, “Anda perlu apa, wahai Abdul Muththalib?” Abdul Muththalib menjawab, “Permintaanku adalah dikembalikannya dua ratus ekor untaku yang telah dirampas dikembalikan kepadaku.”
Padahal, Abrahah mengira Abdul Muththalib akan mempertanyakan perihal Baitullah yang ingin ia hancurkan. Abrahah menjawab, “Ketika aku melihatmu, aku merasa takjub dan segan terhadapmu. Namun, setelah mengdengar permintaanmu tadi, semua anggapanku tentangmu menjadi sirna. Engkau sekarang tak lagi berharga di mataku.”
Abrahah saat itu sangat meremehkan Abdul Muththalib dan menganggapnya hina. Sebab, ia hanya membicarakan perihal dua ratus untanya yang dirampas dan tidak menyinggung perihal Baitullah Al-Haram –Kakbah Al-Musyarrafah– sedikit pun.
Abrahah berkata, “Apakah engkau hanya sibuk memikirkan dua ratus ekor untamu yang dorampas? Sementara terhadap Baitullah yang menjadi simbol agamamu dan agama nenek moyangmu tidak engkau pedulikan. Sesungguhnya, tujuanku ke sini adalah ingin menghancurkan dan meluluh-lantahkannya.”
Namun, Abdul Mutthalib menanggapinya dengan sebuah ungkapan yang menurut sebagian orang sangat indah, menakjubkan, dan menunjukkan keyakinan yang sangat mendalam. Ia berkata, “Sesungguhnya, aku hanya pemilik unta-unta itu, sedangkan Baitullah itu punya Rabb (Pemilik) yang akan melindunginya.”
Respon Abdul Mutthalib terhadap Abrahah merupakan sikap pasif dan tidak wajar, yang menggambarkan seorang yang hidup hanya karena sesuap nasi.
Apakah orang hidup hanya karena sesuap nasi? Hanya karena menyambung hidup, anak-anak, unta, dan kesenangannya saja? Sementara itu, ia tidak mempedulikan agama Allah SWT dengan asumsi bahwa Dia-lah yang akan menjaganya? Sebenarnya, keyakinan seperti ini merupakan buah dari pemahaman yang sangat sempit dan pengetahuan yang sangat dangkal.
Penduduk Makkah menunjukkan sikap pasifnya. Mereka bersembunyi di lorong-lorong gunung, mengosongkan kota Makkah, dan menyerahkan sepenuhnya kepada Abrahah agar ia, bala tentara, dan pasukannya yang mengendarai gajah memasukinya.
Setelah penduduk Makkah menunjukan sikap pasif, turunlah burung-burung Ababil. Turunlah mukjizat besar berupa sekelompok burung kecil yang melempari mereka dengan batu yang berasal dari tanah yang terbakar. Kemudian Allah menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat). Burung-burung kecil itu meluluh-lantahkan kekuatan Abrahah, bala tentara dan pasukan bergajahnya.
Mengapa burung-burung Ababil turun? Mengapa ia turun kepada kaum yang mempunyai sikap pasif dan tidak mau mengambil tindakan? Sebabnya, hal tersebut sudah merupakan sunatullah dalam memusnahkan orang-orang yang zalim.
Inilah sunnatullah yang sudah berlaku dalam membinasakan orang-orang yang zalim sebelum Rasulullah SAW. Allah SWT membinasakan orang-orang zalim dengan kejadian luar biasa dan jauh dari jangkauan akal manusia. Sementara itu, orang-orang yang beriman hanya berdiam diri; tidak menghunus pedang dan tidak melakukan peperangan.
Tatkala Baitullah terliputi bahaya besar, sunatullah berlaku, walaupun orang-orang yang beriman lalai dan tidak peduli. Kejadian seperti ini pernah pula terjadi pada masa para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW.

KISAH NABI NUH AS DENGAN KAUMNYA
Nabi Nuh AS pernah mengalami hal serupa, yakni ketika kaumnya mendustakannya. Nabi Nuh AS mengambil sebuah kesimpulan, tidak ada harapan lagi kalau mereka akan beriman. Lantas Nabi Nuh AS memanjatkan doa kepada Allah SWT sebagaimana yang digambarkan dalam Al-Qur’an Al-Karim:
فَدَعَا رَبَّهُ أَنِّي مَغْلُوبٌ فَانْتَصِرْ
“Maka dia mengadu kepada Rabb-nya, ‘Bahwa aku ini adalah orang yang dikalahkan, oleh sebab itu tolonglah (aku)’.” (Al-Qamar: 10)
Allah SWT mengabulkan doanya dan berfirman:
فَفَتَحْنَا أَبْوَابَ السَّمَاءِ بِمَاءٍ مُنْهَمِرٍ (11) وَفَجَّرْنَا الْأَرْضَ عُيُونًا فَالْتَقَى الْمَاءُ عَلَى أَمْرٍ قَدْ قُدِرَ (12) وَحَمَلْنَاهُ عَلَى ذَاتِ أَلْوَاحٍ وَدُسُرٍ(13)
“Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah.”
“Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air, maka bertemukanlah air-air itu untuk urusan yang sungguh telah ditetapkan.”
“Dan Kami angkut Nuh ke atas (bahtera) yang terbuat dari papan dan paku.” (Al-Qamar: 11-13)
Tidak ada pertempuran antara orang-orang beriman dengan orang-orang kafir. Namun yang terjadi adalah badai topan besar. Dalam kejadian luar biasa ini Allah SWT mengangkut semua orang-orang yang beriman ke atas bahtera.

KISAH NABI LUTH AS DENGAN KAUMNYA
Ketika kaumnya mendustakannya, Nabi Luth AS berdoa:
رَبِّ نَجِّنِي وَأَهْلِي مِمَّا يَعْمَلُونَ (169)
“(Luth Berdoa), ‘Ya Rabb-ku, selamatkanlah aku beserta keluargaku dari (akibat) perbuatan yang mereka kerjakan’.” (Asy-Syu’ara’: 169)
Maka datang perintah dari Allah SWT:
فَأَسْرِ بِأَهْلِكَ بِقِطْعٍ مِنَ اللَّيْلِ وَاتَّبِعْ أَدْبَارَهُمْ وَلَا يَلْتَفِتْ مِنْكُمْ أَحَدٌ وَامْضُوا حَيْثُ تُؤْمَرُونَ (65)
“Maka pergilah kamu di akhir malam dengan membawa keluargamu, dan ikutilah mereka dari belakangdan janganlah seorang pun diantara kamu menoleh ke belakangdan teruskanlah perjalanan ke tempat  yang diperintahkan kepadamu.” (Al-Hijr: 65)
Sama sekali tidak ada pertempuran. Kemudian Allah SWT menerangkan peristiwa yang menimpa para penghuni negeri yang zalim itu setelah Nabi Luth AS keluar dari sana. Allah SWT berfirman:
فَجَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ (74)
“Maka Kami jadikan bagian atas kota itu terbalik ke bawah dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang keras.” (Al-Hijr: 74).

KISAH NABI MUSA AS DENGAN BANI ISRAIL DAN FIR’AUN
Bani israel adalah kaum yang ditugaskan oleh Allah SWT untuk mengemban amanat mendirikan negara dan membangun peradaban umat. Namun, ketika mereka terhimpit di negeri Mesir dan Musa AS putus harapan kalau Fir’aun beserta kaumnya akan beriman, Nabi Musa AS –sebagaimana dikisahkan oleh Al-Qur’an melalui lisannya– kemudian berdoa:
رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَلَايُؤْمِنُوا حَتَّى يَرَوُا الْعَذَابَ الْأَلِيمَ (88)
“... Ya Rabb kami, binasakanlah harta mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yan pedih.” (Yunus: 88).
Maka turunlah perintah Allah SWT. Dia berfirman:
فَأَسْرِ بِعِبَادِي لَيْلًا إِنَّكُمْ مُتَّبَعُونَ (23)
“(Allah berfirman), ‘Maka berjalanlah kamu dengan membawa hamba-hamba-Ku pada malam hari. Sesungguhnya kamu akan dikejar’.” (Ad-Dukhan: 23)
Sama sekalli tidak ada pertempuran dan perlawanan antara kaum Nabi Musa dengan Fir’aun. Kaum Nabi Musa tidak diperintahkan untuk membunuh Fir’aun dan bala tentaranya. Akan tetapi, mereka hanya diperintahkan untuk keluar dari negeri Mesir ke negeri yang lain.
Akhirnya, Nabi Musa AS dan kaumnya dari Bani Israil berangkat hingga sampai di tepi laut (Laut Merah). Sesampainya di sana, Bani Israil merasa tidak ada jalan selamat dari gempuran pasukan Fir’aun, karena mereka menyaksikan pasukan Fir’aun berada di belakang mereka.
Allah SWT menggambarkan peristiwa ini di dalam Al-Qur’an Al-Karim:
فَلَمَّا تَرَاءَى الْجَمْعَانِ قَالَ أَصْحَابُ مُوسَى إِنَّا لَمُدْرَكُونَ (61) قَالَ كَلَّا إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ (62)
“Maka ketika kedua golongan itu telah saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa, ‘Sesungguhnya kita akan benar-benar tersusul’.”
“Musa menjawab, ‘Sekali-kali tidak akan tersusul; Sesungguhnya Rabb-ku besertaku, kelak dia akan memberi petunjuk kepadaku’.” (Asy-Syu’ara’: 61-62)
Hanya ini untaian kalimat penuh keimanan yang kuat, yang terlontar dalam posisi kritis seperti ini, yaitu ungkapan yang diungkapkan oleh Nabi Musa AS.
“Sekali-kali tidak akan tersusul; Sesungguhnya Rabb-ku besertaku, kelak dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (Asy-Syu’ara’: 62).
Sementara kaumnya merasa sangat cemas dan gundah-gelisah tatkala mereka melihat bala tentara Fir’aun. Meskipun demikian, Allah SWT berfirman:
فَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى أَنِ اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْبَحْرَ فَانْفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ كَالطَّوْدِ الْعَظِيمِ (63) وَأَزْلَفْنَا ثَمَّ الْآخَرِينَ (64) وَأَنْجَيْنَا مُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَجْمَعِينَ (65)
“Lalu Kami wahyukan kepada Musa, ‘Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.’ Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar. Dan disanalah Kami dekatkan golongan yang lain. Dan Kami selamatkan Musa dan orang-orang yang bessertanya semuanya.” (Asy-Syu’ara’: 63-65).
Sama sekali tidak ada pertumpahan darah! Tidak ada korban atau kesyahidan dan semua Bani Israil selamat. Padahal mereka telah mengatakan:
“Sesungguhnya kita akan benar-benar tersusul.” (Asy-Syu’ara’: 61)
Allah SWT berfirman:
ثُمَّ أَغْرَقْنَا الْآخَرِينَ (66)
“Dan Kami tenggelamkan golongan yang lain tersebut.” (Asy-Syu’ara’: 66).
Si Durjana Fir’aun dibinasakan dengan kejadian yang luar biasa. Allah membelah lautan, lalu Dia membinasakan Fir’aun terlaknat bersama bala tentaranya.
Ini merupakan sunatullah yang akan senantiasa berlaku dalam berinteraksi dengan musuh-musuh kebenaran, yaitu kaum durjana yang zalim dan para thagut pada masa yang lalu; bahkan hingga zaman Abrahah sebagaimana yang sudah kita saksikan bersama.

 

KATA MEREKA

Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com

Lebih baru Lebih lama