GemaDakwah :  Sendiri aku terhening memikirkan akan sang nenek yang tua renta, aku 
lihat di pinggir jalan ibu kota, seakan hidupnya sedang berada diujung 
tanduk masa. Bagaimana tidak, dia berjalan dengan nafas yang 
tersengal-sengal, rambut memutih, kulitnya yang keriput bagai laut yang 
bergelombang.
Hidup di Jakarta dengan hiruk pikuk suasana kota tak
 membuat sang nenek itu putus asa. Dengan semangat yang dibilang muda, 
dia membawa gerobak kecilnya untuk mengail sampah berserakan di pinggir 
jalan Ibu Kota yang bisa dijual. Dia adalah pemungut sampah jalanan, 
yang mana setiap sampah yang dia pungut, dia jual demi menyambung 
hidupnya.
Saya tak tahu betul nenek itu berasal dari mana, namun 
saat aku ucapkan salam, dia menjawab salamku dengan senyuman serta 
bertanya aku akan pergi ke mana. Aku tak sempat untuk bertanya akan 
namanya, karena saya sedang terburu-terburu ke kampus saat itu.
Sesampainya
 di kampus biru, aku baru sadar bahwa di tas saya ada 2 roti yang saya 
beli sebelum berangkat di sebuah toko dekat asrama, saya meyesal kenapa 
tak kuberikan satu untuk dia. Saya merasa kasihan dengan dia, dengan 
umur yang sangat tua, seharusnya dia beristirahat tanpa harus bekerja 
sekeras seperti itu. Seketika itu aku berjanji jika suatu hari nanti 
jika aku bertemu dia lagi akan kuberi dia sesuatu yang aku punya, entah 
itu makanan atau uang.
Ternyata Allah mengabulkan doaku. Usai 
kuliaah, dan saat aku berjalan pulang aku melihat nenek itu sedang duduk
 di bawah tangga halte. Akupun bergegas menemuinya. Aku lihat dia sangat
 capek. Terlihat keringat yang dia usap dengan bajunya dengan nafas yang
 tersengal-sengal. Akhirnya kuambil air yang ada ditasku dan kuberikan 
kepadanya.
Setelah mengobrol lama, aku baru tahu dia bukan asli 
jakarta. Dia adalah perantau sama seperti saya. Dia tinggal sebatang 
kara dengan suaminya yang sudah tak berdaya untuk bekerja karena sakit 
yang dideritanya. Dia bercerita bahwa hasil dari mungutnya ini setiap 
harinya hanya bisa dia buat untuk membeli makan sekali. Aku tak kuasa 
menahan air mata mendengar ceritanya, akupun lemas, badanku bergemetar 
dan terasa kaku semua.
Dia melanjutkan ceritanya. Dulu dia pernah 
memiliki anak 2, tapi kedua anaknya meninggal dunia karena kecelakaan 
kerja. Sebelum anaknya meninggal, nenek itu tak bekerja, karena kedua 
anaknya yang memenuhi kebutuhannya. Tapi semua berubah saat kedua 
anaknya telah tiada. Nenek terpaksa banting tulang memeras keringatnya 
untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Bahkan dia sempat cerita 
bahwa dia pernah dalam dua hari tak makan, karena sakit dan tak bisa 
bekerja. Dia tidak mampu membeli sesuap nasi karena tak punya uang. Dia 
hanya minum tanpa makan. Air mataku tak henti-hentinya mengalir di 
sela-sela ceritanya.
Bertambah keherananku saat aku ambil beberapa
 lembar uang dari sakuku untuk aku berikan kepadanya, tapi nenek itu 
menolak. Aku tak tahu kenapa, tapi dia bilang uangnya disimpan aja, buat
 jajan saya. Aku berusaha memaksa nenek itu untuk menerima pemberianku, 
tapi nenek itu tetap teguh dengan pendiriannya. Akhirnya aku pasrah dan 
bertanya kenapa dia tak mau menerima pemberianku. Dia menjawab “Anakku, 
aku masih mampu kok mencari uang, aku tak mau belas kasihan dari orang. 
Saya malu sama Allah Swt yang telah memberiku kehidupan sampai sekarang,
 selagi aku mampu berjalan untuk bekerja dan cari uang, aku tak mau 
menerima belas kasihan. Anakku, kau memberikan uang itu kepadaku karena 
belas kasihan dan aku tak butuh belas kasian manusia karena aku punya 
Allah Swt yang maha kaya, dan aku bisa meminta kepada-Nya. Untuk apa 
nikmat sehat yang diberikan-Nya kalau saya tak mensyukurinya. aku hanya 
ingin mensyukuri nikmat-Nya saja”.
Aku tak tahu harus berbicara 
apa, mulutku terbungkam, kakiku seakan terikat tak bisa berjalan. 
Akhirnya nenek itupun berpamitan kepadaku untuk pergi kemasjid dekat 
halte, untuk shalat asar, dan akupun semakin terharu dengan nenek itu, 
dengan keadaan seperti dia masih menjaga sholatnya. Sebelum dia berpisah
 dia berpesan pada saya. “Anakku, kau masih muda, jadilah anak yang 
membanggakan orang tua, jangan lupa kau doakan mereka, dan jangan sampai
 kau meninggalkan ibadahmu selamanya”. Akupun menyempatkan diri untuk 
mencium tangannya. Akhirnya kami berpisah dan sampai sekarang aku tak 
bertemu lagi dengannya.
Sungguh pertemuan sore itu membuat diriku 
sadar, bahwa selagi ada Allah di hati kita maka janganlah kau takut 
kepada dunia, karena dunia adalah ciptaan-Nya, Dia Maha Kaya, Dialah 
pengatur rezeki hamba-Nya. Aku hanya bisa mendoakan nenek itu 
disela-sela shalatku, semoga nenek itu selalu dijaga dan dilindungi oleh
 Allah Swt.
 

Posting Komentar
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com