1. Pengertian Syī’ah
A.
Definisi Syī’ah secara Etimologi (Bahasa)
a. Lafal Syī’ah menurut Bahasa
Secara bahasa Syī’ah berasal
dari kata syaya'a – yasyi'u – syĩ'atan yang artinya pengikut dan pendukung.
Demikian menurut Muhammad bin Abu Bakar bin Abdi-l-Qodir ar-Razi dalam Mukhtār
as-Shihhāh[1] dan Fairuz
al-Abadzi, dalam Qāmus al-Muhith[2].
Ibnu Mandzur dalam Lisān al-Arab[3] mengatakan lafal Syī’ah
bermakna: Sebuah kelompok yang berkumpul untuk mewujudkan tujuan tertentu. Menurutnya, setiap kelompok
yang berkumpul untuk mewujudkan tujuan tertentu dapat disebut Syi'ah.
Sementara, Ibnu Atsir
berpendapat bahwa Syī’ah bermakna firqatun min an-nās (sekelompok manusia). Bisa dipakai untuk lafal mufrad
(singular/tunggal), mutsannā (dua pelaku) dan jama'
(plural/banyak). Dapat dipakai untuk lafal Mudzakkar (masculine) maupun muannats
(feminine). Namun lafal ini kemudian populer sebagai sebutan bagi mereka yang
mendukung Imam Ali dan keluarganya sebagai pemimpin, sehingga menjadi nama yang
sangat khas bagi kelompok ini.
Dari penjelasan di atas dapat
disimpulkan bahwa lafal Syī’ah secara bahasa bermakna: Pengikut dan pendukung
atau sekelompok manusia yang berkumpul untuk mewujudkan tujuan tertentu.
Kesimpulan seperti ini didukung oleh al-Mufid, seorang ulama' Syī’ah ternama
abad 5. Menurutnya, "Syī’ah secara bahasa adalah
mengikuti kelompok tertentu dengan penuh keikhlasan atas dasar agama dan
loyalitas"[4]
b. Lafal Syī’ah dalam Sejarah Islam
Penyebutan Syī’ah dengan makna
pengikut dan pendukung ini sering dipakai di masa-masa awal perkembangan Islam,
sebagaimana diceritakan oleh al-Balāduri dalam Ansāb al-Asyrāf,
al-Ya'qūbi dalam Tārīkh Ya’qubi, Ad-Dainūri dalam Akhbār
at-Thiwāl, Nasr Muzāhim dalam Waq'ah as-Shiffīn, serta at-Tabari dalam Tārīkh.
Al-Baladuri –misalnya- dalam Ansāb
al-Asyrāf menyebutkan sebagai berikut:
Akhirnya Thalhah dan Zubair berangkat ke Mekah, sementara
Ibnu Amir baru datang dari Basrah bersama Ya'la bin Maniyyah membawa dana (yang
cukup besar) dari Yaman. Mereka berkumpul di rumah Aisyah untuk bertukar
fikiran. Hingga mereka berkesimpulan: "Kelihatannya mau tidak mau kita
harus bergerak ke Madinah untuk menyerang Ali". Namun sebagian dari mereka
berkomentar: "Kalian pasti tidak akan mampu mengalahkan orang-orang
Madinah". "Kalau begitu kita bergerak ke Syam (Siria)," jawab mereka, "Karena di sana terdapat
(Syī’ah) pendukung dan dana yang cukup
besar. Bukankah penduduk Syam merupakan Syī'atu `Utsman (pengikut/
pendukung Utsman)? Dengan begitu kita mendapatkan (Syī’ah) pendukung dan musyāyi'in (pengikut),
lalu kita tuntut darah Utsman". Namun sebagian mereka berkata:
"Bukankah di sana ada Mu'awiyah, penguasa Syam yang ditaati? Bukankah dia
lebih utama dari kalian dalam tuntutan tersebut, karena dia adalah
keponakannya, sehingga tidak mungkin kalian dapat merealisasikan maksud kalian
tersebut". Di antara mereka menjawab: "Jika demikian kita harus
bergerak ke Iraq, karena di Kufah, Thalhah memiliki banyak Syī’ah (pengikut),
sementara di Basrah, Zubair memiliki simpatisan". Akhirnya mereka sepakat
untuk bergerak ke Basrah[5].
Sementara, Ya’qubi juga menyebutkan
dalam Tarīkh Ya’qubi bahwa Mu'awiyah
berkata kepada Bisr bin Artha'ah ketika hendak berangkat ke Yaman:
"Pergilah ke Sana', karena di sana kita memiliki Syī’ah (pengikut/pendukung)".
Adapun Nasr Muzahim dalam Waq'ah as-Shiffīn,
ad-Dinawari dalam al-Akhbār at-Thiwāl serta at-Thabari dalam Tarikh,
masing-masing menyebutkan bahwa lafal Syī’ah disebutkan beberapa kali dalam
prasasti kesepakatan kedua belah kubu dalam peristiwa Shiffīn, yang juga
bermakna pengikut atau pendukung sebagaimana disebutkan di bawah ini:
"Bismillahirrahmanirrahim"
Poin pertama: "Berikut ini apa
yang telah diputuskan oleh Ali bin Abi Thalib dan Mu'awiyah bin Abi Shofyan
beserta syī'atihimā
(pengikut/pendukung keduanya). Keduanya telah rela untuk berhukum kepada Al-Qur’ān
dan Sunnah Rasul."
Poin keempat: "Sesungguhnya Ali
beserta syī'atihi (pengikut / pendukungnya) menyepakati Abdullah bin
Qois sebagai wakil dan hakim dari pihaknya, sementara Mu'awiyah beserta syī'atihi
(pengikut / pendukungnya) menyepakati Amru bin Ash sebagai wakil dan hakim dari
pihaknya".
Poin kedelapan: "Jika ada salah
satu dari kedua hakim tersebut meninggal sebelum terbentuknya pemerintahan,
maka Syī'atahu (pengikut/ pendukungnya) berkewajiban untuk memilih pengganti dari komunitas orang-orang yang
berbudi, dengan memegang teguh kesepakatan yang telah ditetapkan
sebelumnya"[6].
Hal ini menandaskan bahwa Syī’ah dalam
arti kelompok yang memiliki pandangan hidup dan keyakinan tertentu tidak muncul
di awal perkembangan Islam. Namun,
muncul dan berkembang di kemudian hari, sebagai implikasi dari berbagai
peristiwa sejarah yang terjadi seperti yang akan dijelaskan kemudian.
c. Lafal Syī’ah dalam Al-Qur'an
Lafal Syī’ah beserta derivatnya
disebutkan di dalam Al-Qur’ān sebanyak 11 kali, dengan perincian: (syī'atin
(1 kali), syī'atihi (2 kali), syiya'an (4 kali), syiya'in
(1 kali), asy-yāakum (1 kali), asy-yāihim (1 kali), dan an-tasyī'a
(1 kali).
Berikut ayat-ayat tersebut beserta penafsiran
Ibnu Katsir atas lafal-lafal tersebut:
Lafal pertama (syī'atin) terdapat
di dalam surat Maryam ayat 69:
ثُمَّ لَنَنزِعَنَّ مِن كُلِّ شِيعَةٍ أَيُّهُمْ
أَشَدُّ عَلَى الرَّحْمَنِ عِتِيًّا"
"Kemudian
pasti akan Kami tarik dari tiap-tiap golongan
siapa di antara mereka yang sangat durhaka kepada Tuhan yang Maha
Pemurah."
Menurut Imam Ibnu Katsir yang
dimaksud dengan (lananzianna min kulli syī'atin) adalah: “Kami akan
tarik dari tiap-tiap pengikut agama itu para pemimpin mereka”[7].
Lafal kedua terdapat dalam ayat 83
dari surat as-Shafat:
وَإِنَّ مِن شِيعَتِهِ لَإِبْرَاهِيمَ"
"Dan
Sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh)".
Maksudnya: Ibrahim termasuk golongan
Nuh a.s. dalam keimanan kepada Allah dan pokok-pokok ajaran agama.
Menurut penjelasan Ibnu katsir, lafal "Min
Syī'atihi" artinya min ahli dīnihi (dari pengikut agama-nya).
Mujahid berkata: "Yang berada dalam satu ajaran dan sunnah-sunnahnya"[8].
Lafal ketiga terdapat dalam surat
al-Qashash ayat 15:
وَدَخَلَ الْمَدِينَةَ عَلَى حِينِ غَفْلَةٍ مِّنْ
أَهْلِهَا فَوَجَدَ فِيهَا رَجُلَيْنِ يَقْتَتِلَانِ هَذَا مِن شِيعَتِهِ وَهَذَا
مِنْ عَدُوِّهِ فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِن شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ
عَدُوِّهِ فَوَكَزَهُ مُوسَى فَقَضَى عَلَيْهِ قَالَ هَذَا مِنْ عَمَلِ
الشَّيْطَانِ إِنَّهُ عَدُوٌّ مُّضِلٌّ مُّبِينٌ.
Musa lalu masuk ke kota (Memphis)
ketika penduduknya sedang lengah, Maka didapatinya di dalam kota itu dua orang
laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan
seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir'aun). Maka orang yang dari golongannya
meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya. Lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Musa berkata:
"Ini adalah perbuatan syaitan. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
menyesatkan lagi nyata (permusuhannya)".
Makna hādza min syī'atihi, menurut Ibnu Katsir adalah al-Isrāīli (bangsa Israel)[9];
dimana Nabi Musa merupakan keturunan dari bangsa tersebut.
Lafal keempat terdapat dalam surat al-An'an
ayat 65:
قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَن يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ
عَذَابًا مِّن فَوْقِكُمْ أَوْ مِن تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعاً
وَيُذِيقَ بَعْضَكُم بَأْسَ بَعْضٍ انظُرْ كَيْفَ نُصَرِّفُ الآيَاتِ لَعَلَّهُمْ
يَفْقَهُونَ"
Katakanlah: "Dialah yang berkuasa
untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau dia
mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan
merasakan kepada sebahagian kamu keganasan sebahagian yang lain. Perhatikanlah,
betapa Kami mendatangkan tanda-tanda
kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami(nya).
Firman Allah au yalbisakum
syiya'an, menurut Ibnu Katsir maknanya adalah yaj'alakum multabisīna
syiya'an firaqan mutakhōlifīn (menjadikan kamu bingung karena berada
di antara kelompok-kelompok yang sedang berselisih) [10].
Lafal kelima
terdapat dalam surat al-An'an ayat 159:
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُواْ دِينَهُمْ وَكَانُواْ شِيَعًا
لَّسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُم
بِمَا كَانُواْ يَفْعَلُونَ)
Sesungguhnya orang-orang yang memecah
belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan [Maksudnya: ialah golongan yang amat
fanatik kepada pemimpin-pemimpinnya], tidak ada sedikitpun tanggung-jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah
kepada Allah. Kemudian Allah akan memberitahukan
kepada mereka apa yang Telah mereka perbuat.
Sementara, lafal keenam
terdapat dalam surat Rum ayat 32:
مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا
كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
Yaitu orang-orang yang memecah-belah
agama mereka [Maksudnya:
meninggalkan agama tauhid dan menganut pelbagai kepercayaan menurut hawa nafsu
mereka] dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada
golongan mereka.
Lafal ketujuh terdapat dalam
surat al-Qashash ayat 4:
إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلَا فِي الْأَرْضِ وَجَعَلَ أَهْلَهَا
شِيَعًا يَسْتَضْعِفُ طَائِفَةً مِّنْهُمْ يُذَبِّحُ أَبْنَاءهُمْ وَيَسْتَحْيِي
نِسَاءهُمْ إِنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ
"Sesungguhnya
Fir'aun telah berbuat sewenang-wenang di muka
bumi dan menjadikan penduduknya berpecah-belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih
anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka.
Sesungguhnya Fir'aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.
Menurut Imam Ibnu Katsir, makna waja'ala
ahlahā syiya'an adalah ashnāfan qad shurrifa kullu shinfin fīmā yurīdu min umur daulatihi (berkelompok-kelompok, tiap kelompok
telah diberi tugas masing-masing sesuai dengan apa yang dikehendakinya, untuk
kepentingan pemerintahannya) [11].
Lafal kedelapan terdapat di dalam
surat al-Hijr ayat 10:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ فِي شِيَعِ
الأَوَّلِينَ
"Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus (beberapa Rasul) sebelum kamu kepada umat-umat yang terdahulu."
Makna walaqad arsalnā min qoblika min syiya'i al-awwalīn adalah ursila min qablika min al-umam
al-mādhiyah (Telah diutus sebelum kamu –dari
umat-umat terdahulu- seorang Rasul kecuali telah didustakan[12].
Lafal kesembilan terdapat dalam Surat al-Qomar 51:
وَلَقَدْ أَهْلَكْنَا أَشْيَاعَكُمْ فَهَلْ مِن
مُّدَّكِرٍ
Dan sesungguhnya telah Kami binasakan orang yang serupa dengan kamu. Maka adakah
orang yang mau mengambil pelajaran?
Makna walaqad ahlaqna asyya'akum, yaitu
umat-umat sebelum kamu, yang telah mengingkari kerasulan[13].
Adapun lafal kesepuluh terdapat dalam
ayat 54 Surat as-Saba’:
وَحِيلَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ مَا يَشْتَهُونَ كَمَا
فُعِلَ بِأَشْيَاعِهِم مِّن قَبْلُ إِنَّهُمْ كَانُوا فِي شَكٍّ مُّرِيبٍ
"Dan
dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka ingini (yang mereka ingini itu
ialah beriman kepada Allah atau kembali ke dunia untuk bertaubat) sebagaimana
yang dilakukan terhadap orang-orang yang serupa dengan mereka pada masa dahulu.
Sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) dalam keraguan yang mendalam.
Dan lafal kesebelas
terdapat dalam Surat an-Nur ayat 19:
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي
الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ
يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang ingin
agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan
orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.
Dari apa yang telah disebutkan oleh
Imam Ibnu Katsir di atas dapat disimpulkan bahwa makna lafal Syī’ah dan derivatnya
dalam al-Quran berkisar antara: Penganut agama, bangsa (etnis), kelompok-kelompok
yang berselisih, kelompok-kelompok yang diberi tugas masing-masing untuk
kepentingan pemerintahannya, umat-umat terdahulu, orang-orang yang serupa
dengan orang-orang sebelumnya.
Kesimpulan ini senada dengan
kesimpulan Ibnu al-Jauzi dan ad-Damaghani. Menurut Ibnu al-Jauzi ayat-ayat di atas secara umum
memiliki empat makna[14]:
Pertama: Kelompok, seperti tersebut
dalam surat al-An'am: 159, al-Hijr: 10, ar-Rum: 32, dan al-Qoshah: 4.
Kedua: al-Ahl wa an-Nasab
(Keluarga dan keturunan), seperti tersebut dalam
Surat al-Qoshas: 15.
Ketiga: Ahlu al-Millah
(Penganut agama), seperti tersebut dalam Surat Maryam: 69, al-Qomar: 51,
as-Saba': 54.
Keempat: al-Ahwā' al-Mukhtalīfah (Hawa nafsu yang
beragam), seperti tersebut dalam surat al-An'am: 65.
Sementara Ad-Damaghani dalam Qōmus al-Qur’ān[15], menyebutkan makna kelima yaitu
menyebarkan dan penyebaran, seperti tertera dalam surat an-Nur: 19[16].
Hal ini menguatkan kesimpulan
sebelumnya bahwa pemakaian lafal Syī’ah dalam al-Quran tidak berkonotasi “Kelompok
Syī'ah” sebagaimana difahami saat ini.
d. Lafal Syī’ah dalam Hadis
Sementara, pemakaian lafal
Syī’ah dalam Hadis juga bermakna pengikut dan
pendukung. Seperti tersebut dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad
dari Maqsam Abi al-Qasim, budak Abdullah al-Harits bin Naufal, tentang seorang
lelaki yang berkata kepada Nabi Saw; "Hai Muhammad, aku telah menyaksikan
apa yang telah Anda perbuat hari ini". "Lalu apa pendapatmu?"
jawab Rasulullah. "Aku melihat bahwa Anda tidak berlaku adil".
Naskah lengkap Hadis di atas sebagai
berikut:
"Aku keluar bersama Talid bin Kilab al-Laitsi, hingga
kami bertemu dengan Abdullah bin Amru bin al-Ash, yang sedang thawaf
mengelilingi Ka'bah, sambil membawa sandal dengan tangannya. Lalu aku bertanya
kepadanya: "Apakah Anda berada di tempat kejadian saat
seorang dari kabilah Tamimi berkata kepada Rasulullah usai perang
Hunain?". "Ya, saya berada di tempat kejadian" kata Ibnu Amru.
"Pada saat itu datanglah seorang lelaki dari bani Tamim, yang bernama Dzu
Huwaishirah, lalu ia berdiri di hadapan Rasulullah yang saat itu sedang
membagikan ghanimah (harta rampasan perang), lalu ia berkata: "Hai
Muhammad, aku telah menyaksikan apa yang telah Anda perbuat hari ini."
"Lalu apa pendapatmu," tanya Rasulullah.
"Aku melihat bahwa Anda tidak berlaku adil".
Rasulullah kelihatan marah kemudian berkata: "Celaka kamu, jika aku tidak
berbuat adil, lalu siapa gerangan yang melakukannya?" Umar bin Khattab secara
sepontan berkata: "Wahai Rasulullah, sebaiknya kita bunuh saja orang
ini". Rasulullah menjawab: "Tidak, biarkan saja, ia akan memiliki Syī’ah
(pengikut), yang akan keluar dari agama ini sebagaimana anak panah keluar
dari busurnya ... "[17].
Makna Syī’ah dalam Hadis di atas adalah
pengikut dan pendukung. Demikian pula lafal Syī’ah yang termuat dalam Hadis
yang dikeluarkan oleh Imam al-Hakim dalam
al-Mustadrak, dari Ibnu Abbas Ra. "... Lalu apa yang disebutkan dalam
firman Allah, "Wainna min syī'atihi la Ibrāhīm", maknanya: "Di antara Syī’ah (pengikut)
Nuh adalah Ibrahim", yang berada dalam ajaran dan
sunnah-sunnahnya".
Maka berdasarkan penelitian Dr.
Al-Qaffari, tidak dapat ditemukan pemakaian lafal Syī’ah dalam Hadis dengan
makna "kelompok” atau “madzhab Syī’ah” yang kita kenal saat ini yaitu pengikut Imam Ali (yang memiliki keyakinan
tertentu), kecuali dalam Hadis-Hadis lemah dan palsu, seperti beberapa Hadis
tersebut di bawah ini:
Pertama: Hadis yang menyatakan bahwa
Rasulullah telah meminta pengampunan kepada Allah untuk Imam Ali dan para
pengikutnya (Syi'ah). فاستغفرت لعلي وشيعته "Aku meminta pengampunan untuk Ali
dan pengikutnya".
Menurut al-Aqīli, sebagaimana dinukil
oleh Dr. Al-Qaffari, Hadis ini tidak memiliki asal, sementara al-Kannani
mengklasifikannya ke dalam Hadis maudhu' (palsu).
Kedua: Hadis yang menyatakan bahwa
Rasulullah membuat permisalan diri beliau, Imam Ali dan pengikutnya (Syī'ah),
seperti halnya pohon:
مثلي مثل شجرة، أنا أصلها وعلي فرعها ... والشيعة ورقها.
"Permisalan
aku bagaikan pohon, aku pokoknya, Ali cabangnya, sementara Syī’ah daunnya".
Ibnu al-Jauzi mengklasifikasikan Hadis
ini ke dalam kategori Hadis palsu, sementara Imam Syaukani juga meletakkan Hadis
tersebut juga ke dalam Hadis palsu dalam bukunya al-Fawāid al-Majmū'ah fī al-Ahādīts al-Maudhū’āt".
Ketiga: Hadis yang menyatakan, bahwa
Rasulullah bersabda bahwa Imam Ali dan pengikutnya (Syī'ah) akan berada dalam surga:
قال صلى الله عليه وسلم لعلي: أنت وشيعتك في الجنة.
Rasulullah bersabda kepada Imam Ali: "Kamu dan
pengikutmu (Syī'ah) berada di surga".
Hadis ini menurut penilaian Ibnu
al-Jauzi termasuk kategori Hadis palsu, sehingga dimasukkan dalam
ensiklopedinya "al-Maudhū’āt" (kumpulan Hadis-Hadis palsu). Demikian
pula menurut Imam Dzahabi dalam bukunya Mīzān al-I'tidāl, serta As-Syaukani dalam " al-Fawāid al-Majmū'ah fī al-Ahādīts al-Maudhū’āt "[18].
Sekalipun Hadis-Hadis
di atas dianggap Hadis shahih, namun apa yang dimaksud dengan Syī’ah sebagai
pengikut/pendukung Imam Ali, tidak serta-merta mengisyaratkan atau menunjukkan
adanya pengangkatan Imam Ali sebagai Imam sepeninggal Nabi Muhammad Saw. tanpa
jeda waktu, tapi lebih kepada manāqib (pujian),
atau dalam arti pengikut dan pendukung Ali bin Abi Thalib pada saat menjadi
salah satu Kholafa’ ar-Rasyidin.
[1] Muhammad bin Abu Bakar bin
Abdu al-Qadir ar-Razi, Mukhtār
as-Shihhāh, (Beirut: al-Maktabah al-ashriyah, Cet.
I, 1995), hlm. 337
[2] Al-Fairuz Abadi, al-Qāmūs al-Muhīth (Beirut: Mathba'ah al-Ashriyah, Cet.
III, 1933), hlm. 3/47
[3] Abu Fadhl Jamaluddin Muhammad
bin Makram bin Ibn Mandzur, Lisān
al-Arab, (Beirut: Dar as-Shadir, t.t), hlm.
7/188-189.
[4] Muhammad bin Muhammad
an-Nu'man al-Mufid, Komentar Fadhlullah az-Zinjani, Awāil al-Maqālat fī
al-Madzāhib al-Mukhtārāt, (Najf: Maktabah al-Haidariyah, Cet. III, 1393), hlm.
22-23.
[5] Al-Baladuri, Ansāb al-Asyrāf, Editor: Syeikh Muhammad
Baqir al-Mahmudi (Beirut: Muassasah al-A'lami, Cet. I), hlm. 221; Juz 2,
Waraqah 71-B.
[6] Dr. Muhammad Hamidullah
al-Haidar Abadi, Majmū'ah al-watsāiq as-siyāsiyyah fi
al-Ahdi an-Nabawi wa al-Khilāfah ar-Rāsyidah, (Kairo: Maktabah ats-Tsaqafah
ad-Diniyah, t.t), hlm. 538-539
[7] Ibnu Katsir, Tafsīr
al-Qur’ān
al-Adhim, (Beirut: Dar al-Jail, Beirut: Cet. II, 1990), hlm. 3/128.
[8] Ibnu katsir, Tafsīr
al-Qur’ān al-Adzīm, hlm. 4/14
[9] Ibnu Katsir, Tafsīr
al-Qur’ān
al-Adzīm, hlm. 3/369
[10] Ibnu katsir, Tafsīr
al-Qur’ān
al-Adzīm, hlm. 2/132
[11] Ibnu katsir, Tafsīr
al-Qur’ān al-Adzīm,
hlm. 4/14.
[12] Ibnu katsir, Tafsīr
al-Qur’ān
al-Adzīm, hlm. 4/14.
[13] Ibnu katsir, Tafsīr
al-Qur’ān
al-Adzīm, hlm. 4/270
[14] Ibnu al-Jauzi, Nuzhatu
al-A'yun an-Nadzir, Muhammad Abdul Karim Kadzim ar-Radhi. (Ed), (Beirut: Muassasah ar-Risalah, Cet. I,
1984) hlm. 376-377
[15] Ad-Damaghani, Qōmus al-Qur’ān aw Ishlāh al-Wujūd wa an-Nadzāir, Abdu
al-Aziz al-Ahl. (Ed), (Beirut: Daru-l-ilmi li-l-malayin, Cet. III, 11977) hlm.
271
[16] إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ
الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا
وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
[17] Imam Ahmad, Musnad Imam
Ahmad, Kitab: Musnad al-Mukats-tsirīn min as-shahābah, Bab: Musnad Abdullah bin
Amru bin al-Ash, No. 6741.
[18] Nashiruddin bin Abdullah bin
Ali al-Qaffari, Ushūl Madzhab al-Imāmiyah
al-Itsnā Asyariyah, (t.k:
t.p, Cet. II, 1994), hlm.36 (
Penulis : Dr. M. Kholid Muslih, MA
Ph.D. Bidang
Aqidah-Filsafat Universitas Al-Azhar Kairo Mesir
Dosen Tetap dan Ketua Program Studi Ilmu Akidah Pascasarjana
Universitas Darussalam
(UNIDA) Gontor
Posting Komentar
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com