As-Syahid Sayyid Quthb dilahirkan pada tahun 1906 di Kampung Musyah, Kota Asyut, Mesir. Ia di besarkan di dlam sebuah keluarga yang menitikberatkan ajaran Islam dan mencintai Al-Qur’an. Ia telah bergelar hafizh (orang yang hapal Al-Qur’an) sebelum berumur sepuluh tahun. Menyadari bakat anaknya, orang tuanya memindahkan keluarganya ke Halwan, daerah pinggiran Kairo. Ia memperoleh kesempatan masuk Tajhiziyah Darul-Ulul. Tahun 1929, ia kulliah di Darul-’Ulum (nama sebuah Universitas Kairo, sastra Arab, dan juga tempat Hasan al-Banna belajar sebelumnya). Ia memperoleh gelar sarjana muda pendidikan pada tahun 1933.
Ayahnya dipanggil ke hadirat Yang Mahkuasa ketika ia sedang kuliah. Tak lama kemudian (1941), ibunya pun menyusul kepergian suaminya. Wafatnya dua orang yang dicintainya itu membuatnya merasa kesepian. Tetapi di sisi lain, keadaan ini justru memberikan pengaruh positif dalam karya tulis dan pikirannya.
Sejak dari lulus kuliahnya hingga tahun 1951, kehidupannya tampak biasa-biasa saja, sedangkan karya tulisannya menampakan nilai sasatra yang begitu tinggi dan bersih, tidak bergelimang dalam kebejatan moral seperti kebanyakan sastrawan pada masa itu. Pada akhirnya, tulisan-tulisannya lebih condong kepada Islam.
Pada tahun yang sama, sewaktu bekerja sebagau oengawas sekolah Departemen Pendidikan, ia mendapat tugas belajar ke Amerika Serikat untuk memperdalam pengetahuannya di bidang pendidikan selama dua tahun. Ia membagi waktu studinya anatara Wilson’s Teacher’s College di Washington, Greeley College di Colorado, dan Stanford University di California. Ia juga mengunjungi banyak kota besar di Amerika Serikat serta berkunjung ke Inggris, Swiss, dan Italia.
Tidak seperti rekan-rekan seperjalannya, keberangkatan ke Amerika itu ternyata memeberikan saham yang besar pada dirinya dalam menumbuhkan kesadaran dan semangat Islami yang sebenrnya, terutama sesudah ia melihat bangsa Amerika berpesta pora atas meninggalnya al-Imam Hasan al-Banna pada awal tahun 1949.
Hasil studi dan pengalamnya selama di Amerika Serikat itu meluaskan wawasan pemikirannya mengenai problem-problem sosial kemasyarakatan yang di tumbuhi oleh pemahaman materealisme yang gersang akan paham ketuhanan. Ketika kembali ke Merir, ia semakin yakin bahwa Islamlah yang sanggup menyelamatkan manusia dari paham materalisme sehingga terlepas dari cengkraman materi yang ak pernah terpuaskan.
Sayyid Quthb kemudian bergabung dengan gerakan Islam Ikhwanul Muslimin dan menjadi nsalah satu seorang tokohnya yang berpengaruh, di samping Hasan al-Hudaibi dan Abdul Qadir Audah. Sewaktu larangan terhadap Ikhwanul Muslimin di cabut pada tahun 1951, ia terpilih sebagai anggota panitia pelaksana dan memimpin bagian dakwah. Selama 1953, ia menghadiri konferensi di Suriah dan Yordania, dan sering memberkan ceramah tentang pentingnya akhlak sebagai prasyarat kebangkitan umat.
Juli 1954, ia menjadi pimpinan redaksi harian Ikhwanul Muslimin. Akan tetapi, baru dua bulan usianya, harian itu ditutup atas perintah Presiden Mesir Kolonel Gamal Abdul Nasser karena mengecam perjanjian Mesir-Inggris 7 Juli 1054.
Sekitar Mei 1955, Sayyid Quthb termasuk seseorang pemimpin Ikwanul Muslimin yang di tahan setelah organisasi itu di larang oleh Presiden Nasser dengan tuduhan berkomplot untuk menjatuhkan pemerintah. Pada 13 Juli 1955, Pengadilan Rakyat menjatuhkan hukuman luma belas tahun kerja berat. Ia di tahan di beberapa penjara Mesir hingga pertengahan tahun 1964. Ia di bebaskan pada tahun itu atas permintaan Presiden Irak Abdul Sakam arif yang mengadakan kunjungan muhibah ke Mesir.
Baru seratahun ia menikmati kebeasan, ia kembali ditangkap bersama tiga orang saudaranya: Muhammad Quthb, Hamidah dan Aminah. Juga ikut ditahan kira-kira 20.000 orang lainnya, di antaranya 700 orang wanita.
Pada hari Senin, 13 Jumadl Awwal 1386 atau 29 Agustus 1966, ia dan dua orang temannya (Abdul Fatah Islmail dan Muhammad Yusuf Hawwasy) menyambut panggilan Rabbnya dan syahhid di tali tiang gantungan.
Sayyid Quthb menulis lebih dari dua puluh buku. Ia mulai mengembangkan bakat menulisnya dengan membuat buku anak-anak yang meriwayatkan pengalaman Nabi Muhammad saw dan cerita-cerita lainnya dari sejarah Islam. Perhatinanya kemudian meluas dengan menulis cerita-certia pendek, sajak-sajak, kritik sastra, serta artikel untuk majalah.
Di awal karier penulisannya, ia menulis dua buku mengenai keindahan dalam Al-Qur’an: at-Taswir al-Fanni fil-Qur’an (cerita Keindahan dalam Al-Qur’an) dan Musyaahidat al-Qiyamah fil-Qur’an (hari kebangkitan dalam Al-Qur’an). Pada tahun 1948, ia menerbitkan karya monumentalnya: al-’Adaalah al-Ijtimaa’iyah fil-islam (keadilan Sosial dalam Islam), kemudian disusul Fi Zhilaalil-Qur’an (Di bawah Naungan Al-Qur’an) yang di selesaikannya di dalam penjara.
Karya-karya lainnya: as-Salaam al-’Alami wal-Islam (Perdamaian Internasional dan Islam) yang di terbitkan tahun 1951, an-Naqd al-Adabii Usuuluhu wa Maanaahijuhuu (Kritik Sastra, Prinsip Dasar, dan Metode-Metode), Ma’rakah al-Islaam war-Ra’simaliyah (Perbenturan Islam dan Kaptalisme) yang di ternitkan tahun 1951, Fit-Tariikh, Fikrah wa Manaahij (Teori dan Metode dalam Sejarah), al-Mustaqbal li Haadzad-Diin (Masa Depan Berada di Tangan Agama Ini), Nahw Mujtnama’ (Perwujudan Masyarakat Islam), Ma’rakatuna ma’al_yahuud (Perbenturan Kita Dengan Yahudi), al-Islam wa Musykilah al-Hadaarah (Islam dan Problem-Problem Kebudayaan) terbit tahun 1960, Hadza ad-Diin (Inilah Agama) terbit tahun 1955, dan Khashais at-Tashawwur al-Islami wa Muqawwamatahu (Ciri dan Nilai Visi Islam) yang terbit tahun 1960.
Sewaktu di dalam tahanan, ia menulis karya terakhirnya: Ma’aalim fith-Thariq (petunjuk Jalan) yang terit tahun 1964. Dalam buku ini, ia mengemukakan gagasannya tentang perlunya revolusi total, bukan semata-mata pada sikap individu, namun juga pada struktur negara. Selama periode inilah, logika konsepsi awal negara Islamnya Sayyid Quthb mengemuka. Buku ini pula yang di jadikan utama dalam sidang yang menudugnya bersekongkol hendak menumbangkan rezim Nasser.
Tetes darah perjuangan dan goresan penanya mengilhami dan meniupkan ruh jihad di hampir semua gerakan keislaman di dunia ini.
Waalahu a’lam bish-Shawab. (Di salin dari buku Tafsir Fi Zhilalil Qur’an jilid satu halaman 320)
Ayahnya dipanggil ke hadirat Yang Mahkuasa ketika ia sedang kuliah. Tak lama kemudian (1941), ibunya pun menyusul kepergian suaminya. Wafatnya dua orang yang dicintainya itu membuatnya merasa kesepian. Tetapi di sisi lain, keadaan ini justru memberikan pengaruh positif dalam karya tulis dan pikirannya.
Sejak dari lulus kuliahnya hingga tahun 1951, kehidupannya tampak biasa-biasa saja, sedangkan karya tulisannya menampakan nilai sasatra yang begitu tinggi dan bersih, tidak bergelimang dalam kebejatan moral seperti kebanyakan sastrawan pada masa itu. Pada akhirnya, tulisan-tulisannya lebih condong kepada Islam.
Pada tahun yang sama, sewaktu bekerja sebagau oengawas sekolah Departemen Pendidikan, ia mendapat tugas belajar ke Amerika Serikat untuk memperdalam pengetahuannya di bidang pendidikan selama dua tahun. Ia membagi waktu studinya anatara Wilson’s Teacher’s College di Washington, Greeley College di Colorado, dan Stanford University di California. Ia juga mengunjungi banyak kota besar di Amerika Serikat serta berkunjung ke Inggris, Swiss, dan Italia.
Tidak seperti rekan-rekan seperjalannya, keberangkatan ke Amerika itu ternyata memeberikan saham yang besar pada dirinya dalam menumbuhkan kesadaran dan semangat Islami yang sebenrnya, terutama sesudah ia melihat bangsa Amerika berpesta pora atas meninggalnya al-Imam Hasan al-Banna pada awal tahun 1949.
Hasil studi dan pengalamnya selama di Amerika Serikat itu meluaskan wawasan pemikirannya mengenai problem-problem sosial kemasyarakatan yang di tumbuhi oleh pemahaman materealisme yang gersang akan paham ketuhanan. Ketika kembali ke Merir, ia semakin yakin bahwa Islamlah yang sanggup menyelamatkan manusia dari paham materalisme sehingga terlepas dari cengkraman materi yang ak pernah terpuaskan.
Sayyid Quthb kemudian bergabung dengan gerakan Islam Ikhwanul Muslimin dan menjadi nsalah satu seorang tokohnya yang berpengaruh, di samping Hasan al-Hudaibi dan Abdul Qadir Audah. Sewaktu larangan terhadap Ikhwanul Muslimin di cabut pada tahun 1951, ia terpilih sebagai anggota panitia pelaksana dan memimpin bagian dakwah. Selama 1953, ia menghadiri konferensi di Suriah dan Yordania, dan sering memberkan ceramah tentang pentingnya akhlak sebagai prasyarat kebangkitan umat.
Juli 1954, ia menjadi pimpinan redaksi harian Ikhwanul Muslimin. Akan tetapi, baru dua bulan usianya, harian itu ditutup atas perintah Presiden Mesir Kolonel Gamal Abdul Nasser karena mengecam perjanjian Mesir-Inggris 7 Juli 1054.
Sekitar Mei 1955, Sayyid Quthb termasuk seseorang pemimpin Ikwanul Muslimin yang di tahan setelah organisasi itu di larang oleh Presiden Nasser dengan tuduhan berkomplot untuk menjatuhkan pemerintah. Pada 13 Juli 1955, Pengadilan Rakyat menjatuhkan hukuman luma belas tahun kerja berat. Ia di tahan di beberapa penjara Mesir hingga pertengahan tahun 1964. Ia di bebaskan pada tahun itu atas permintaan Presiden Irak Abdul Sakam arif yang mengadakan kunjungan muhibah ke Mesir.
Baru seratahun ia menikmati kebeasan, ia kembali ditangkap bersama tiga orang saudaranya: Muhammad Quthb, Hamidah dan Aminah. Juga ikut ditahan kira-kira 20.000 orang lainnya, di antaranya 700 orang wanita.
Pada hari Senin, 13 Jumadl Awwal 1386 atau 29 Agustus 1966, ia dan dua orang temannya (Abdul Fatah Islmail dan Muhammad Yusuf Hawwasy) menyambut panggilan Rabbnya dan syahhid di tali tiang gantungan.
Sayyid Quthb menulis lebih dari dua puluh buku. Ia mulai mengembangkan bakat menulisnya dengan membuat buku anak-anak yang meriwayatkan pengalaman Nabi Muhammad saw dan cerita-cerita lainnya dari sejarah Islam. Perhatinanya kemudian meluas dengan menulis cerita-certia pendek, sajak-sajak, kritik sastra, serta artikel untuk majalah.
Di awal karier penulisannya, ia menulis dua buku mengenai keindahan dalam Al-Qur’an: at-Taswir al-Fanni fil-Qur’an (cerita Keindahan dalam Al-Qur’an) dan Musyaahidat al-Qiyamah fil-Qur’an (hari kebangkitan dalam Al-Qur’an). Pada tahun 1948, ia menerbitkan karya monumentalnya: al-’Adaalah al-Ijtimaa’iyah fil-islam (keadilan Sosial dalam Islam), kemudian disusul Fi Zhilaalil-Qur’an (Di bawah Naungan Al-Qur’an) yang di selesaikannya di dalam penjara.
Karya-karya lainnya: as-Salaam al-’Alami wal-Islam (Perdamaian Internasional dan Islam) yang di terbitkan tahun 1951, an-Naqd al-Adabii Usuuluhu wa Maanaahijuhuu (Kritik Sastra, Prinsip Dasar, dan Metode-Metode), Ma’rakah al-Islaam war-Ra’simaliyah (Perbenturan Islam dan Kaptalisme) yang di ternitkan tahun 1951, Fit-Tariikh, Fikrah wa Manaahij (Teori dan Metode dalam Sejarah), al-Mustaqbal li Haadzad-Diin (Masa Depan Berada di Tangan Agama Ini), Nahw Mujtnama’ (Perwujudan Masyarakat Islam), Ma’rakatuna ma’al_yahuud (Perbenturan Kita Dengan Yahudi), al-Islam wa Musykilah al-Hadaarah (Islam dan Problem-Problem Kebudayaan) terbit tahun 1960, Hadza ad-Diin (Inilah Agama) terbit tahun 1955, dan Khashais at-Tashawwur al-Islami wa Muqawwamatahu (Ciri dan Nilai Visi Islam) yang terbit tahun 1960.
Sewaktu di dalam tahanan, ia menulis karya terakhirnya: Ma’aalim fith-Thariq (petunjuk Jalan) yang terit tahun 1964. Dalam buku ini, ia mengemukakan gagasannya tentang perlunya revolusi total, bukan semata-mata pada sikap individu, namun juga pada struktur negara. Selama periode inilah, logika konsepsi awal negara Islamnya Sayyid Quthb mengemuka. Buku ini pula yang di jadikan utama dalam sidang yang menudugnya bersekongkol hendak menumbangkan rezim Nasser.
Tetes darah perjuangan dan goresan penanya mengilhami dan meniupkan ruh jihad di hampir semua gerakan keislaman di dunia ini.
Waalahu a’lam bish-Shawab. (Di salin dari buku Tafsir Fi Zhilalil Qur’an jilid satu halaman 320)
Posting Komentar
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com