Antara Fatwa Politik dan Fatwa Politis

Tarqiyah : Fatwa sangat penting kita ketahui khususnya untuk menghadapi berbagai dinamika kehidupan yang terus berkembang sehingga kita mengetahui kedudukannya dalam syariat. Tak terkecuali dalam masalah politik. Akan tetapi dalam masalah politik, permasalahannya sangat sensitif, karena sudut pandangan dan latar belakangnya bisa jadi sangat beragam, dan yang lebih rawan adalah sarat kepentingan. Sehingga dalam batas tertentu, kita sulit membedakan apakah ini fatwa politik ataukah fatwa politis.
Revolusi Arab yang terjadi belakangan ini misalnya dapat kita ambil contohnya. Banyak hal yang harus kita lihat, subtansinya mungkin sama, rakyat tidak puas dengan pemimpinnya yang diktator, tapi masing-masing memiliki cara dan gaya penyelesaian. Ada Maroko yang paling smooth, ada yang lumayan lancar seperti Tunisia, ada yang berdarah-darah namun relatif berhasil menumbangkan sang diktator, seperti Libia dan Yaman. Yang sangat kelam adalah Suriah dan kini Mesir yang hingga kini terus berlanjut dan berdarah. Semoga Allah angkat semua nestapa ini dari saudara-saudara kita di sana.
Setidaknya ada dua point yang ingin saya sampaikan sebagai pandangan pribadi saya;
Pertama, sebagaimana saya katakan bahwa substansi Revolusi Arab adalah sama, ketidakpuasan dengan pemerintahan yang ada dan ingin melakukan reformasi pemerintahan. Apapun kemudian perkembangan yang terjadi, mestinya sikap kita sama. Jangan sampai ada sikap ganda. Misalnya ketika Kadafi jatuh tidak bermasalah, tapi ketika Mubarak jatuh, tidak sudi. Atau misalnya, terhadap perjuangan rakyat Suriah, memberikan pembelaan kuat, sedangkan terhadap perjuangan rakyat Mesir yang menolak kudeta militer justeru dikecam. Ketika Mursi berkuasa, berbagai demo menggoyang kekuasaannya tidak ada seruan agar mereka kembali ke rumah-rumahnya, eh kini ketika pendukung Mursi menentang kudeta militer terhadap presiden yang sah, suara nyaring itu baru terdengar. Apakah yang membedakan antara perjuangan rakyat Suriah dengan rakyat Mesir sehingga sikapnya berbeda? Atau apakah bedanya antara penentangan anti Mursi dahulu dengan penentangan pro Mursi sekarang sehingga fatwanya baru keluar sekarang…?
Saya jadi ingat dengan jihad Afghanistan, semasa rakyat Afghanistan berjihad melawan pemerintahan boneka Uni Sovyet, jihad mendapatkan sambutan hangat di negara-negara teluk. Saat itu Bin Ladin dielu-elukan, bahkan kata teman saya orang Saudi, dibuka tempat-tempat khusus untuk pendaftaran jihad ke Afghanistan. Berbondong-bondong para pemuda ke Afghan. Bahkan tokoh jihad Afghan Abdu Rabbi Rasul Sayyaf diundang untuk menerima medali king Faishal sebagai tokoh yang dianggap menghidupkan jihad, bahkan dia berpidato soal jihad di panggung resmi. Tapi bagaimana kini fatwa tentang Jihad Afghan setelah yang dilawan adalah pemerintah boneka AS? Teroris!! Bayangkan, dari mujahid ke teroris! Apa bedanya Najibullah yang jadi boneka Uni Sovyet dengan Karzai yang kini jadi boneka AS?
Beginilah rumitnya kalau fatwanya tidak konsisten, sangat kuat gelagat ada pesan Kepentingan tertentu. Yang dilihat akhirnya bukan kuatnya dalil, tapi masalah misdaqiyah (kredibilitas) dan istiqlaliyah (independensi)-nya.
Sekedar membandingkan dengan kasus serupa di tengah masayarakat, banyak para majikan di negeri Arab yang mendatangkan TKI dari Negara lain tanpa mahram sebagai pembantu rumah tangganya. Sebagian mereka adalah orang yang mengerti dan taat beragama, alasannya adalah kebutuhan. Yang sangat ironis (sekaligus menggelikan) jika musim haji tiba, lalu sang TKW minta ke majikannya untuk berangkat haji, mereka melarangnya dengan alasan Tidak Ada Mahram!
Kedua, terkait dengan gerakan penggulingan pemerintahan yang sah dan sikap menasehati penguasa, saya kira memang cukup jelas dalil-dalil normatifnya. Hanya saja, kasusnya di lapangan harus dipahami dengan seksama dan objektif dan mempertimbangkan berbagai hal.
Jika kita lihat revolusi Arab sebagai kasus, atas nama siapakah tuntutan lengsernya penguasa diktator tersebut? Jika kita perhatikan, semuanya bersumber dari rakyat umum yang sudah muak dengan pemerintahan diktator. Bukan karena kelompok tertentu yang mengincar kekuasaan dengan menggulingkannya. IM sendiri yang dianggap sebagai kekuatan politik Islam terbesar, bukanlah inisiator utama gerakan rakyat tersebut. Bahkan pada saat pertama kali gerakan ini muncul IM cukup menjaga diri. Berpuluh-puluh tahun IM dizalimi sejak zaman Nasher, Sadat hingga Mubarak, tidak tercatat mereka mengerahkan massa untuk menggulingkan penguasa, dipenjara, diintimidasi, difitnah, mereka tetap berjalan, membina masyarakat dan menasehati penguasa dengan cara damai.
Ketika akhirnya gerakan rakyat tersebut semakin membesar dan hakekatnya tuntutan mereka sama, maka ketika itu IM turun bersama rakyat, terus mengawal keinginan rakyat hingga akhirnya dipercaya menduduki tampuk pemerintahan. Jadi, kalau saya melihat, IM lebih berperan mengontrol jalannya pemerintahan dan mengawal aspirasi masyarakat. Yang perlu diketahui bahwa penentang kudeta Mesir bukan hanya IM saja, bahkan analisanya menunjukkan bahwa lautan manusia yang menentang kudeta Mesir, orang IM hanya sebagian kecil saja.
Masalah pencopotan pemimpin Negara pada masa sekarang sendiri ada juga jalur konstitusionalnya. Apalagi ketika mereka dipilih oleh rakyat dan kemudian rakyatnya secara umum menolaknya. Inipun harus menjadi bahan pertimbangan fikih misalnya, berdirinya Negara Saudi modern, tak lain setelah berhasil “menggulingkan” beberapa penguasa Muslim di beberapa wilayah di Arab Saudi ini, dan setahu saya hal itu tidak diperdebatkan para ulama.
Sekali lagi masalah ini memang sangat kasuistik, tidak dapat diukur dengan fatwa yang sama.
Adapun terkait dengan banyaknya korban yang jatuh, bagi saya ini adalah konsekwensi dari sikap. Tentu kita sangat pedih melihat semua ini. Perjuangan mana sih yang tidak menimbulkan korban? Nonton bola saja bisa menyebabkan jatuh korban! Kalau kita hanya menyoroti banyaknya korban, mungkin dahulu tidak ada perang perjuangan membebaskn penjajah dari tanah air yang menelan lebih banyak korban. Tapi yang lebih pedih dari itu adalah jika empati terhadap mereka terkikis termakan opini yang digiring para diktator bahwa mereka adalah ekstrimis dan teroris, lalu ikut-ikutan jadi mengecam mereka dan menuduh berbuat konyol dan ‘anjing-anjing neraka’. Sementara ‘tukang jagalnya’ tak tersentuh sama sekali dari lidah dan pena mereka!
Para ulama yang menasehati rakyat Mesir untuk kembali ke rumah-rumahnya sangat layak diapresiasi, apalagi jika tujuannya untuk menyelamatkan darah dan jiwa mereka. Akan tetapi yang patut dipertanyakan juga adalah, apakah nasehat hanya berlaku kepada mereka. Saya melihat, pada masa sekarang ini, nasehat para ulama lebih penting diarahkan kepada para penguasa, baik yang langsung membantai, atau secara tidak langsung memberikan restu dan dukungan. Jadi ‘aneh’ kalau ada dua orang bertikai, kemudian nasehat hanya diarahkan kepada satu pihak, lebih aneh lagi, jika nasehat hanya diarahkan kepada yang dizalimi.
Seandainya para ulama secara massif memberikan nasehat kepada penguasanya, bukan cuma jadi bumper kebijakan-kebijakannya, maka para penguasa pun kan selalu menimbang-nimbang setiap kebijakannya agar selaras dengan prinsip-prinsip agama. Maka, kalau rakyat turun ke jalan memprotes kezaliman penguasanya, hal itu juga harus dilihat sebagai wujud dari mandegnya tugas ulama yang harus menasehati para penguasa. Jadi, dalam hal ini, para ulama pun harus dinasehati terkait sejauh mana peran mereka mengontrol para penguasa. Bukankah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan, “Seutamanya jihad adalah menyampaikan yang haq di depan penguasa zalim.”
Tragedi di Mesir ini, tidak perlu terjadi apabila sejak awal negara-negara Islam yang utama langsung mendukung total pemerintahan Mursi, tapi sayang seribu sayang, sikap mereka sangat jauh dari harapan. Kalau ingin tahu sikap mereka terhadap pemerintahan Mursi, lihat saja media massa resminnya yang tak lain merupakan corong mereka; Lebih jahat dari media barat sekalipun! Ironis, ketika Presiden Mursi terpilih, negeri Arab sangat terkesan ‘ogah-ogahan’ memberi dukungan, namun ketika junta militer berhasil mengkudeta mursi dan membentuk pemerintahan yang notabene dipegang orang sekuler, langsung mendapatkan dukungan. sebegitu buruknya-kah mursi yang hafidz al al qur’an dibanding baradei dan bablawi yang sekuler asli (bahkan baradei belakangan mengaku syiah). sangat sulit bagi saya mendapatkan logikanya. anehnya, yang getol memberikan dukungan dan pembelaan, bahkan hingga kini, justeru Erdogan, pemimpin Muslim Turki yang bukan Arab dan tidak memiliki ‘gudang’ ulama.
Masalah menyampaikan pesan secara tersembunyi pun saya melihat bukan sesuatu yang mutlak, bolehlah itu dikatakan sebagai prisip dasarnya, akan tetapi kondisi tertentu bisa jadi menyebabkan adanya tuntutan memberikan nasehat terhadap penguasa secara terang-terangan, apalagi jika disampaikan secara bijak dan tegas. Umar bin Khattab pernah diprotes kebijakannya tentang pembatasan mahar secara terang-terangan. Kisah para salaf dan ulama terpercaya pun tidak sepi dari kisah bagaimana mereka bersikap tegas degan kezaliman penguasa. Misalnya ada ulama yang dikenal sebagai Sulthanul Ulama, yaitu Al ‘Izz bin Abdus Salam, ketika penguasa Damaskus hendak berkoalisi dengan pasukan salib untuk menyerang penguasa Mesir yang tak lain saudaranya sendiri, dengan lantang dia menentangnya, dia sampaikan hal itu di atas mimbar, akhirnya dia dicopot dari jabatan qadhi dan dipenjara. Ada juga kisah lainnya yang terkenal darinya yang terang terangan menentang kebijakan penguasa.
Bahkan di Saudi saya lihat di media-media sudah mulai lumrah memberitakan kritikan-kritikan dari berbagai pihak atas kebijakan-kebijakan yang dianggap layak diluruskan. Bahkan belum lama beberapa ulama di Saudi rame-rame mendatangi beberapa departemen, seperti departemen pendidikan dan departemen tenaga kerja atas beberapa kebijakannya yang dianggap sebagai bertentangan dengan syariat. Mereka sih tidak menganggapnya demonstasi, tapi sebagai bentuk nasehat… Bahkan dibentuknya majelis syura Saudi salah satunya untuk mengontrol kebijakan pemerintah. Saya sering baca di media misalnya, majelis syura menyampaikan beberapa kritikannya terhadap kinerja pemerintah… Apakah mereka dapat disebut khawarij karena hal itu.
Intinya masalah politik adalah masalah yang sangat dinamis dan luas dimensinya, mengandalkan dalil-dalil normatif begitu saja tanpa mempertimbangkan kasus per kasus, akan jadi rumit sendiri. Dan jangan sampai pembicaraan siyasah syar’iah kita hanya seputar “Apa hukum demonstrasi” lalu mangambil semua kesimpulan hukum dari sana. Sekali-kali dibahas juga lah “Apa hukum penguasa yang diam atau bahkan mendukung kezaliman?” Atau “Apa hukum penguasa Muslim yang berkolaborasi dengan kekuatan kufur untuk memberangus gerakan Islam?” Atau “Apa hukum ulama yang diam saja melihat pembantaian terhadap kaum muslimin.” Atau semacamnya….
Saya ingin katakan, bahwa tugas kita memang bukan hanya mengajak umat agar tidak menyembah kuburan, tapi juga agar mereka tidak menyembah AS dan sekutu-sekutunya. Kedua-duanya adalah syirik yang harus dibasmi. Inilah Tauhid!
 Wallahu A‘lam.

KATA MEREKA

Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com

أحدث أقدم