Tarqiyah : Amal jama’i dalam amal da’awi menuntut pemahaman syar’i yang benar, kematangan berfikir dan kedewasaan dalam bersikap. Sehingga menghasilkan kebijakan yang tepat, efektif, mendapat berkah dan diridhai Allah swt. Hal tersebut dapat dilihat dari proses pengambilan kebijakan dan komitmen serta konsistensi dalam melaksanakan keputusan yang dihasilkan dari syura.
1. Syura salah satu pilar sistem Islam yang harus membudaya di seluruh lapisan masyarakat. Allah swt. mensejajarkan syura dengan shalat dan zakat. Yaitu syura hukumnya wajib seperti halnya shalat dan zakat, bahkan sebagai pilar sistem masyarakat Islam yang apabila tidak diamalkan berarti telah melakukan dosa besar dan meruntuhkan tatanan masyarakat Islam. Allah berfirman dalam surat Syura ayat 38,
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (38)
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.”
2. Syura sebagai budaya masyarakat Islam,
وَأَمْرُهُمْ شُورَىْ
“dan urusan mereka adalah syura ”
Nash ini menegaskan bahwa syura dalam masyarakat Islam bukan hanya teori apalagi hanya sekadar wacana. Akan tetapi harus sudah menjadi budaya yang melekat di dalam kehidupan bermasyarakat. Kalimat “dan urusan mereka adalah syura” lebih tinggi tingkatannya dari kata yang menunjukkan perintah. Seperti: ”bersyuralah kalian”, ”laksanakanlah syura oleh kamu”, “kamu wajib bermusyawarah” dan kata-kata semisalnya. Kalimat “dan urusan mereka adalah syura ”konotasinya bahwa mereka sudah membiasakan syura dalam kehidupan sehari-hari dan sudah menjadi sistem kehidupan. Sedangkan kalimat ”bersyuralah kalian” adalah kata perintah yang menuntut respon dari yang menerima perintah. Mungkin melaksanakannya atau mungkin tidak. Ketika dilaksanakan belum tentu berkelanjutan jadi hanya dilaksanakan sekali kemudian terputus tidak pernah dilakukan lagi.
3. Syura sebagai prinsip yang harus ditegakkan dalam semua marhalah. Baik itu marhalah sirriyyah atau jahriyah, jama’ah atau daulah, di saat mudah maupun susah, pada kondisi lemah atau kuat, di waktu jumlah kader masih sedikit atau sudah banyak, ketika struktur masih terbatas atau sudah mapan dan seterusnya. Kita tahu bahwa surat as-Syura di antara surat-surat Makkiyah (yang diturunkan pada priode Mekah), di periode umat Islam secara jumlah masih sedikit, secara tanzhim masih sangat terbatas, kekuatan masih sangat lemah dan marhalah dakwah baru memasuki marhalah jamaah belum memasuki marhalah daulah, tetapi Rasulullah dan para sahabatnya sudah membudayakan syura.
Ketika sudah sampai pada marhalah daulah dan Rasulullah saw. sebagai Kepala Negara, sistem sudah mapan dan masyarakat Islam sudah mandiri, kewajiban menegakkan syura diperkuat dan dipertegas kembali dengan perintah Allah swt dalam Surat Ali ‘Imran ayat 159,
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (159)
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”
Ayat di atas adalah ayat-ayat Madaniyah (turun pada periode Madinah) dan setelah perang Uhud. Paling tidak, ada dua pelajaran sangat berharga darinya:
a. Setelah dakwah sudah meluas (jama’ah besar, kader banyak, tanzhim kokoh dan kuat), maka budaya syura harus semakin dipertahankan dan diperkuat. Disamping itu, implementasinya juga harus diperkuat. Dalam hal ini, Allah swt menegaskan kembali kepada Rasulullah sebagai Qiyadah Jama’ah dan Kepala Negara dengan perintah””وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ“
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam menetapkan kebijakan”
b. Ayat ini turun setelah perang Uhud. Dimana ketika itu terjadi musyawarah dalam menentukan sikap. Apakah kaum muslimin keluar dari Madinah untuk menghadapi musuh (musyrikin Quraisy) atau bertahan di dalam Madinah. Dan keputusan yang diambil melalui mekanisme syura, dimana hasil dari perang Uhud kaum muslimin mengalami kekalahan. Secara tidak langsung, kekalahan di Uhud adalah karena kepuasan syura yang menetapkan untuk keluar dari Madinah. Kemudian terjadi perang dan kalah. Di sini, Allah ingin menegaskan bahwa syura adalah prinsip ajaran Islam yang harus ditegakkan apapun hasilnya itulah yang terbaik.
c. Syura harus ditegakkan walau dalam lingkup yang terkecil sekalipun. Seperti dalam kehidupan berkeluarga dalam menentukan urusan rumah tangga, sebagaimana ditegaskan di dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 233,
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آَتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (233)
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Di dalam ayat ini, bagi seorang suami ketika menginginkan istri mempunyai anak lagi sementara anaknya belum sampai pada usia disapih, maka ia harus memusyawarahkannya dengan istrinya. Ia tidak boleh mengambil keputusan sepihak dengan tidak melibatkan istri. Kita harus belajar dari pesan ayat ini bahwa kita harus membiasakan bermusyawarah walaupun pada urusan rumah tangga dan pada masalah yang di sana ada kepentingan orang lain.
4. Allah swt. memberikan penghargaan yang setinggi- tingginya kepada memimpin walaupun pemimpin itu musyrik. Seperti apa yang diabadikan di dalam al-Qur’an surat an-Naml ayat 32-33
قَالَتْ يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ أَفْتُونِي فِي أَمْرِي مَا كُنْتُ قَاطِعَةً أَمْرًا حَتَّى تَشْهَدُونِ (32) قَالُوا نَحْنُ أُولُو قُوَّةٍ وَأُولُو بَأْسٍ شَدِيدٍ وَالْأَمْرُ إِلَيْكِ فَانْظُرِي مَاذَا تَأْمُرِينَ (33)
“Berkata dia (Balqis), ‘Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majlis (ku).’”
“Mereka menjawab, ‘Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada di tanganmu. Maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan.’”
Kita tahu betul dan paham benar bahwa syarat seorang pemimpin dalam Islam harus seorang muslim dan berjenis kelamin laki-laki. Namun dalam konteks pada konsistensi terhadap menegakkan prinsip syura Allah menghargai sikap seorang pemimpin wanita musyrik yang menjunjung tinggi prinsip syura dan konsisten dalam menegaskannya. Bilqis sangat menjunjung tinggi prinsip syura ketika ia mengatakan:
قَالَتْ يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ أَفْتُونِي فِي أَمْرِي مَا كُنْتُ قَاطِعَةً أَمْرًا حَتَّى تَشْهَدُونِ (32)
“Berkata dia (Balqis), ‘Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku).’”
Dengan sikapnya seperti itu, sangat positif dampak terhadap kepemimpinannya, yaitu kepemimpinan yang solid dan didukung penuh oleh para pembantunya dengan sangat loyal dan setia. Sebagaimana sikap mereka, قَالُوا نَحْنُ أُولُو قُوَّةٍ وَأُولُو بَأْسٍ شَدِيدٍ وَالْأَمْرُ إِلَيْكِ فَانْظُرِي مَاذَا تَأْمُرِينَ (33) “Mereka menjawab, ‘Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada di tanganmu. Maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan.’”
Dan negeri yang dipimpinnya makmur, aman dan sejahtera. Sebagai mana yang digambarkan oleh hud-hud kepada nabi Sulaiman:
إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ (23)
“Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.”
5. Antara ro’yul qiyadah dan syura.
Iman Hasan al-Banna di dalam Ushul ‘Isyrin pada prinsip yang ke lima berkata, ”Pendapat imam dan wakilnya yang tidak ada nash di dalamnya, pada masalah ijtihadiyah bersifat mengikat selama tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syar’i dan dapat berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi serta budaya.”
Dari prinsip yang kelima ini, Imam al-Banna menjelaskan bahwa seorang qiyadah memiliki ruang dan wewenang untuk menetapkan kebijakan, memutuskan perkara dan mengeluarkan perintah kepada kader anggota jamaahnya dengan pendapatnya sendiri selama tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syar’i, melanggar hukum qoth’i dan pada masalah-masalah ijtihadiyah dalam kebijakan da’wah. Namun demikian, Syeikh DR.Yusuf al-Qaradhawi -seorang ulama besar abad ini, salah satu murid al-Banna sangat loyal dan setia pada gurunya dan salah satu rujukan dalam pemikiran al-Ikhwan al-Muslimin, berkata:
“Jika pendapat imam (qiyadah) bersifat mengikat pada masalah–masalah ijtihadiyah yang tidak ada nashnya dan mashalih mursalah (maslahat umum), seharusnya diputuskan melalui mekanisme musyawarah dan berkonsultasi dengan para pakar, ilmuwan, ulama dan spesialis. Sebagaimana Allah swt. Berfirman,
وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ (14)
“Dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (Qs. Fathir:14)
فَاسْأَلْ بِهِ خَبِيرًا (59)
“Maka tanyakanlah kepada yang lebih mengetahui.” (al-Furqon :59).
6. Keputusan syura bersifat mengikat untuk semua. Baik qiyadah, kader, yang terlibat dalam pengambilan keputusan di forum syura sebagai anggota syura maupun yang tidak terlibat sebagai kader biasa. Inilah sikap dan pilihan fiqih syar’iyah yang tepat dan bijak sesuai dengan kaidah yang mengatakan as-syura mulzimah (syura itu mengikat).
Ikhwah fillah
Wahai para qiyadah yang dicintai Allah!
Wahai para kader yang disayangi Allah !
Wahai ikhwah yang dirahmati Allah !
Marilah kita taat kepada Allah dan Rasul-Nya, disiplin dengan syari’at, patuh kepada aturan tanzhim dengan membudayakan syura di antara kita dan disiplin dalam menjalankan keputusan syura walaupun tidak sesuai dengan selera, pendapat dan ide serta gagasan pribadi demi terpeliharanya dakwah ini dan mendapatkan keberkahan serta ridha Allah.
Ikhwah fillah, Rasulullah yang ma’sum dan dibimbing langsung oleh Allah dengan wahyu adalah orang paling banyak dan sering bermusyawarah, seperti kesaksian sahabat Abu Hurairah ra.
وَكَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ يَقُولُ مَا رَأَيْتُ أَحَدًا قَطُّ كَانَ أَكْثَرَ مَشُورَةً لِأَصْحَابِهِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Abu Hurairah berkata, ‘Aku tidak pernah melihat seseorang pun yang paling sering bermusyawarah dengan sahabatnya selain Rasulullah saw.’”(HR.Bukhari)
Umar bin Khaththab ra. Berkata, “Tidak ada kebaikan pada setiap keputusan yang tidak melalui mekanisme syura.”
Hasan Al-Basri berkata, “Tidaklah suatu kaum bermusyawarah melainkan Allah memberikan petunjuk yang terbaik buat mereka.”
DR. Abdul Qadir Abu Farris berkata, “Syura adalah madrasah tarbiyah bagi umat, melaluinya akan lahir kepribadian dan jati diri, syura salah satu sebab kemenangan dakwah dan dengannya umat Islam menjadi guru peradaban dunia.”
—
Maraji’:
1. Syura salah satu pilar sistem Islam yang harus membudaya di seluruh lapisan masyarakat. Allah swt. mensejajarkan syura dengan shalat dan zakat. Yaitu syura hukumnya wajib seperti halnya shalat dan zakat, bahkan sebagai pilar sistem masyarakat Islam yang apabila tidak diamalkan berarti telah melakukan dosa besar dan meruntuhkan tatanan masyarakat Islam. Allah berfirman dalam surat Syura ayat 38,
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (38)
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.”
2. Syura sebagai budaya masyarakat Islam,
وَأَمْرُهُمْ شُورَىْ
“dan urusan mereka adalah syura ”
Nash ini menegaskan bahwa syura dalam masyarakat Islam bukan hanya teori apalagi hanya sekadar wacana. Akan tetapi harus sudah menjadi budaya yang melekat di dalam kehidupan bermasyarakat. Kalimat “dan urusan mereka adalah syura” lebih tinggi tingkatannya dari kata yang menunjukkan perintah. Seperti: ”bersyuralah kalian”, ”laksanakanlah syura oleh kamu”, “kamu wajib bermusyawarah” dan kata-kata semisalnya. Kalimat “dan urusan mereka adalah syura ”konotasinya bahwa mereka sudah membiasakan syura dalam kehidupan sehari-hari dan sudah menjadi sistem kehidupan. Sedangkan kalimat ”bersyuralah kalian” adalah kata perintah yang menuntut respon dari yang menerima perintah. Mungkin melaksanakannya atau mungkin tidak. Ketika dilaksanakan belum tentu berkelanjutan jadi hanya dilaksanakan sekali kemudian terputus tidak pernah dilakukan lagi.
3. Syura sebagai prinsip yang harus ditegakkan dalam semua marhalah. Baik itu marhalah sirriyyah atau jahriyah, jama’ah atau daulah, di saat mudah maupun susah, pada kondisi lemah atau kuat, di waktu jumlah kader masih sedikit atau sudah banyak, ketika struktur masih terbatas atau sudah mapan dan seterusnya. Kita tahu bahwa surat as-Syura di antara surat-surat Makkiyah (yang diturunkan pada priode Mekah), di periode umat Islam secara jumlah masih sedikit, secara tanzhim masih sangat terbatas, kekuatan masih sangat lemah dan marhalah dakwah baru memasuki marhalah jamaah belum memasuki marhalah daulah, tetapi Rasulullah dan para sahabatnya sudah membudayakan syura.
Ketika sudah sampai pada marhalah daulah dan Rasulullah saw. sebagai Kepala Negara, sistem sudah mapan dan masyarakat Islam sudah mandiri, kewajiban menegakkan syura diperkuat dan dipertegas kembali dengan perintah Allah swt dalam Surat Ali ‘Imran ayat 159,
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (159)
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”
Ayat di atas adalah ayat-ayat Madaniyah (turun pada periode Madinah) dan setelah perang Uhud. Paling tidak, ada dua pelajaran sangat berharga darinya:
a. Setelah dakwah sudah meluas (jama’ah besar, kader banyak, tanzhim kokoh dan kuat), maka budaya syura harus semakin dipertahankan dan diperkuat. Disamping itu, implementasinya juga harus diperkuat. Dalam hal ini, Allah swt menegaskan kembali kepada Rasulullah sebagai Qiyadah Jama’ah dan Kepala Negara dengan perintah””وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ“
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam menetapkan kebijakan”
b. Ayat ini turun setelah perang Uhud. Dimana ketika itu terjadi musyawarah dalam menentukan sikap. Apakah kaum muslimin keluar dari Madinah untuk menghadapi musuh (musyrikin Quraisy) atau bertahan di dalam Madinah. Dan keputusan yang diambil melalui mekanisme syura, dimana hasil dari perang Uhud kaum muslimin mengalami kekalahan. Secara tidak langsung, kekalahan di Uhud adalah karena kepuasan syura yang menetapkan untuk keluar dari Madinah. Kemudian terjadi perang dan kalah. Di sini, Allah ingin menegaskan bahwa syura adalah prinsip ajaran Islam yang harus ditegakkan apapun hasilnya itulah yang terbaik.
c. Syura harus ditegakkan walau dalam lingkup yang terkecil sekalipun. Seperti dalam kehidupan berkeluarga dalam menentukan urusan rumah tangga, sebagaimana ditegaskan di dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 233,
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آَتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (233)
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Di dalam ayat ini, bagi seorang suami ketika menginginkan istri mempunyai anak lagi sementara anaknya belum sampai pada usia disapih, maka ia harus memusyawarahkannya dengan istrinya. Ia tidak boleh mengambil keputusan sepihak dengan tidak melibatkan istri. Kita harus belajar dari pesan ayat ini bahwa kita harus membiasakan bermusyawarah walaupun pada urusan rumah tangga dan pada masalah yang di sana ada kepentingan orang lain.
4. Allah swt. memberikan penghargaan yang setinggi- tingginya kepada memimpin walaupun pemimpin itu musyrik. Seperti apa yang diabadikan di dalam al-Qur’an surat an-Naml ayat 32-33
قَالَتْ يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ أَفْتُونِي فِي أَمْرِي مَا كُنْتُ قَاطِعَةً أَمْرًا حَتَّى تَشْهَدُونِ (32) قَالُوا نَحْنُ أُولُو قُوَّةٍ وَأُولُو بَأْسٍ شَدِيدٍ وَالْأَمْرُ إِلَيْكِ فَانْظُرِي مَاذَا تَأْمُرِينَ (33)
“Berkata dia (Balqis), ‘Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majlis (ku).’”
“Mereka menjawab, ‘Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada di tanganmu. Maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan.’”
Kita tahu betul dan paham benar bahwa syarat seorang pemimpin dalam Islam harus seorang muslim dan berjenis kelamin laki-laki. Namun dalam konteks pada konsistensi terhadap menegakkan prinsip syura Allah menghargai sikap seorang pemimpin wanita musyrik yang menjunjung tinggi prinsip syura dan konsisten dalam menegaskannya. Bilqis sangat menjunjung tinggi prinsip syura ketika ia mengatakan:
قَالَتْ يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ أَفْتُونِي فِي أَمْرِي مَا كُنْتُ قَاطِعَةً أَمْرًا حَتَّى تَشْهَدُونِ (32)
“Berkata dia (Balqis), ‘Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku).’”
Dengan sikapnya seperti itu, sangat positif dampak terhadap kepemimpinannya, yaitu kepemimpinan yang solid dan didukung penuh oleh para pembantunya dengan sangat loyal dan setia. Sebagaimana sikap mereka, قَالُوا نَحْنُ أُولُو قُوَّةٍ وَأُولُو بَأْسٍ شَدِيدٍ وَالْأَمْرُ إِلَيْكِ فَانْظُرِي مَاذَا تَأْمُرِينَ (33) “Mereka menjawab, ‘Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada di tanganmu. Maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan.’”
Dan negeri yang dipimpinnya makmur, aman dan sejahtera. Sebagai mana yang digambarkan oleh hud-hud kepada nabi Sulaiman:
إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ (23)
“Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.”
5. Antara ro’yul qiyadah dan syura.
Iman Hasan al-Banna di dalam Ushul ‘Isyrin pada prinsip yang ke lima berkata, ”Pendapat imam dan wakilnya yang tidak ada nash di dalamnya, pada masalah ijtihadiyah bersifat mengikat selama tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syar’i dan dapat berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi serta budaya.”
Dari prinsip yang kelima ini, Imam al-Banna menjelaskan bahwa seorang qiyadah memiliki ruang dan wewenang untuk menetapkan kebijakan, memutuskan perkara dan mengeluarkan perintah kepada kader anggota jamaahnya dengan pendapatnya sendiri selama tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syar’i, melanggar hukum qoth’i dan pada masalah-masalah ijtihadiyah dalam kebijakan da’wah. Namun demikian, Syeikh DR.Yusuf al-Qaradhawi -seorang ulama besar abad ini, salah satu murid al-Banna sangat loyal dan setia pada gurunya dan salah satu rujukan dalam pemikiran al-Ikhwan al-Muslimin, berkata:
“Jika pendapat imam (qiyadah) bersifat mengikat pada masalah–masalah ijtihadiyah yang tidak ada nashnya dan mashalih mursalah (maslahat umum), seharusnya diputuskan melalui mekanisme musyawarah dan berkonsultasi dengan para pakar, ilmuwan, ulama dan spesialis. Sebagaimana Allah swt. Berfirman,
وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ (14)
“Dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (Qs. Fathir:14)
فَاسْأَلْ بِهِ خَبِيرًا (59)
“Maka tanyakanlah kepada yang lebih mengetahui.” (al-Furqon :59).
6. Keputusan syura bersifat mengikat untuk semua. Baik qiyadah, kader, yang terlibat dalam pengambilan keputusan di forum syura sebagai anggota syura maupun yang tidak terlibat sebagai kader biasa. Inilah sikap dan pilihan fiqih syar’iyah yang tepat dan bijak sesuai dengan kaidah yang mengatakan as-syura mulzimah (syura itu mengikat).
Ikhwah fillah
Wahai para qiyadah yang dicintai Allah!
Wahai para kader yang disayangi Allah !
Wahai ikhwah yang dirahmati Allah !
Marilah kita taat kepada Allah dan Rasul-Nya, disiplin dengan syari’at, patuh kepada aturan tanzhim dengan membudayakan syura di antara kita dan disiplin dalam menjalankan keputusan syura walaupun tidak sesuai dengan selera, pendapat dan ide serta gagasan pribadi demi terpeliharanya dakwah ini dan mendapatkan keberkahan serta ridha Allah.
Ikhwah fillah, Rasulullah yang ma’sum dan dibimbing langsung oleh Allah dengan wahyu adalah orang paling banyak dan sering bermusyawarah, seperti kesaksian sahabat Abu Hurairah ra.
وَكَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ يَقُولُ مَا رَأَيْتُ أَحَدًا قَطُّ كَانَ أَكْثَرَ مَشُورَةً لِأَصْحَابِهِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Abu Hurairah berkata, ‘Aku tidak pernah melihat seseorang pun yang paling sering bermusyawarah dengan sahabatnya selain Rasulullah saw.’”(HR.Bukhari)
Umar bin Khaththab ra. Berkata, “Tidak ada kebaikan pada setiap keputusan yang tidak melalui mekanisme syura.”
Hasan Al-Basri berkata, “Tidaklah suatu kaum bermusyawarah melainkan Allah memberikan petunjuk yang terbaik buat mereka.”
DR. Abdul Qadir Abu Farris berkata, “Syura adalah madrasah tarbiyah bagi umat, melaluinya akan lahir kepribadian dan jati diri, syura salah satu sebab kemenangan dakwah dan dengannya umat Islam menjadi guru peradaban dunia.”
—
Maraji’:
- Tafsir Fii zhilalil Qur’an/Sayyid qutb
- Shahih Bukhari
- Ushul ‘Isyrin/Syekh Hasan Al-Banna
- An-nizham as-siasy fil islam/DR.Abdul Qodir Abu Faris
- As-Siasah as-syar’iyah/DR.Yusuf al-Qorodhawi
- Al-fikrul as-siasy al-muashir ‘indal ikhwan/DR.Taufiq wa’i
Posting Komentar
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com